Siang
yang panas. Matahari seakan bertengger di ubun-ubun. Debu-debu
bertebaran di antara kerumunan orang yang lalu-lalang. Di sebuah
terminal bus yang padat, aku duduk termangu menunggu bus yang akan mengantarku pulang.
Teriakan para calo tiket dan para kernet menderu
di antara sengatan matahari. Angin menerkam menemani panas dan
daun-daun yang terlepas dari tangkainya. Bukan hanya daun-daun tua yang
telah mengering.
Di
atas bus yang akan mengantarku, orang-orang begitu tergesa-gesa
menyerobot di antara pintu yang ukurannya jelas tak cukup buat mereka
untuk melewatinya sekaligus. Dengan sengit mereka menerobos menyikut
kiri kanan dan saling mendorong untuk lepas dari himpitan. Begitu sesak.
Peluh bersimbah di sekucur tubuh mereka. Bayangan hari akhir seketika
meyelinap dalam kesadaranku.
Duduk
di kursi belakang dekat jendela kaca yang terbuka. Angin dan udara
panas masih menerkam dengan ganas. Kursi dalam bus telah penuh. Terasa
begitu sumpek dengan barang-barang bawaan yang bertumpuk. Pandanganku
menyelinap ke luar melalui jendela bus yang kacanya buram oleh debu yang
menempel. Orang-orang masih lalu-lalang dengan kesibukan masing-masing.
Entah apa yang ada dalam kepala mereka. Gambaran Padang Mashar
terbayang begitu cepat.
Bus
perlahan bergerak meninggalkan terminal. Kebisingan menderu di antara
debu-debu yang bertebaran. Panas matahari menyebar begitu liar dan
garang. Sebuah perjalanan panjang mulai berjalan. Bus terus melaju,
menepis angin dan debu yang menerjang. Di sampingku, seorang kakek duduk
termangu. Terdiam di antara kebisuan di antara kami, di antara
kebisingan penumpang dan suara mesin yang menyalak-nyalak.
Mata
lelaki tua itu perlahan terpejam. Nampak garis-garis ketuaan menempel
di wajahnya yang bercahaya. Entah, aku tak dapat menebak usianya. Tenang
sekali. Mungkin tertidur. Aku tak ingin mengganggunya, meski aku merasa
kesepian karena tak ada teman ngobrol. Aku hanya bisa menikmati
tidurnya yang nampak tanpa beban.
Bus
yang aku tumpangi kian jauh meninggalkan stasiun. Para penumpang
sebagian telah terlelap. Beberapa di antara mereka masih saja asyik
ngobrol dengan teman duduknya. Angin yang sesekali berhembus menerobos
melalui celah jendela kaca menerpa deras di wajahku dan memberaikan
rambutku.
Mataku
mulai sayu. Aku mengerjap-ngerjapkan mata yang mulai terasa berat.
Kantuk terasa mulai menyerang kesadaranku. Aku sedikit memiringkan tubuh
ke arah jendela. Lelap….
***
Kadang
ada yang tak dapat dimaknai. Setiap perjalanan manusia selalu saja ada
yang terlupakan. Langit nampak buram memenjarakan bumi. Dinding bus
bergetar dan suara mesin mengusap kesadaranku. Sebuah perjalanan panjang
telah berjalan. Saat tarikan nafas pertama dimulai, sebuah realitas
hidup tak dapat dihindari.
Aku
menggeliat. Orang tua di sampingku nampak tersenyum. Aku menatapnya
dengan mata redup. Ia mulai bicara dan mengajakku ngobrol. Kulihat
orang-orang di sekitarku semuanya terlelap. Tapi ada sesuatu yang nampak
lain. Entah, perasaanku berkata demikian.
“Ahh, apa peduliku,” bisikku
membatin, lalu membalikkan punggung dan kembali menatap orang tua di
sampingku. Aku mulai bergairah, mendapat teman ngobrol. Apalagi
perjalanan yang kutempuh ini, begitu melelahkan.
“Kakek dari mana dan mau ke mana?” tanyaku membuka pembicaraan. Ia nampak tersenyum. Giginya yang putih masih berderet rapi, meski usianya menurutku sudah sangat tua.
“Aku
dari bagian ruang dan waktu. Seperti kamu. Tapi kini aku merasa hampir
tak ada lagi ruang dan waktu yang mengekangku. Dan aku akan pergi ke
sebuah tempat yang belum pernah kau lihat, termasuk aku.”
Seketika
aku terhenyak. Ia masih tersenyum menyembulkan gigi putihnya yang
berderet rapi. Aku merasa ada yang ganjil di sekitarku. Dan orang tua
itu?
“Akhh. Mungkin orang tua ini memiliki maqam yang sangat tinggi. Hingga kata-katanya begitu penuh arti,” pikirku seraya menenangkan perasaan.
Di
luar kegelapan mulai menggelayut. Sisa-sisa cahaya yang melekat di
dedaunan perlahan terhisap oleh gelap. Bayangan pepohonan rebah, lalu
lanyap. Malam menjelma ngarai.
Ia masih menatapku dengan senyum yang tetap tersungging.
“Kamu
tak perlu heran. Di dunia ini semua pada dasarnya adalah keanehan. Kita
hidup juga adalah sebuah keanehan. Manusia hanya diberikan sedikit
kemampuan untuk menyingkap kehidupan.” Ia seperti membaca pikiranku. Aku
mulai tertarik dengan apa yang ia katakan, meski perasaaku kian resah.
“Kamu
pernah melihat seseorang yang nampak sehat, namun beberapa saat
kemudian telah terbaring di liang lahat?” tanyanya seperti tak butuh
jawaban, “Itu juga sebuah keanehan. Dan sekali lagi, manusia hanya
diberikan sedikit ilmu untuk menyingkap semua itu.”
Derit
suara rem mobil yang diinjak mengejutkan aku. Perlahan bus berhenti.
Dua orang penumpang setengah baya, seorang lelaki dan seorang perempuan
-mungkin suami istri-, berdiri dan berjalan begitu pelan menuju pintu
depan bus yang perlahan terbuka. Angin berhembus kencang meremangkan
bulu roma.
Aku
menatap keduanya. Pakaian mereka perlahan koyak dengan darah yang
melumuri. Wajah keduanya perlahan-perlahan kian sulit dikenali.
Kutebarkan pandanganku ke seluruh penumpang bus. Tak ada ekspresi di wajah mereka. Tenang. Begitu dingin.
“Apakah mereka tidak melihat keanehan yang kulihat?” pikirku. Keresahan semakin terasa.
Kupalingkan
kembali wajahku ke pintu. Semakin mendekati pintu, darah di tubuh
mereka kian banyak. Tubuhku merinding. Aku mengucek-ngucek kedua bola
mataku untuk menyakinkan diri bahwa aku tidak sedang bermimpi. Tapi apa
yang kulihat masih berlangsung. Di depan pintu bus,
seberkas bayangan putih menghampiri dan memegang tangan keduanya. Mereka
melayang meninggalkan cahaya yang sesap di kegelapan.
Kembali aku mengucek-ngucek mata, seakan tak percaya. Perlahan aku berpaling pada orang tua di sampingku. Ia masih tersenyum.
“Mereka telah pergi,“ ucapnya seakan mengerti jalan pikiranku.
“Dunia
bagi mereka adalah mimpi. Kepergian adalah sebuah kedamaian bagi jiwa
mereka. Mereka telah meninggalkan tubuh yang telah memenjarakan.”
Aku menatapnya dengan tanda tanya besar di kepala. Rasa takut terus menjalar. Ia masih tersenyum.
“Kamu
tak perlu takut, semuanya telah ada yang mengatur. Kematian adalah
bayang-bayang. Kematian adalah kenangan. Kematian adalah kepasrahan.
Kematian adalah keikhlasan.” Ia menatap lurus ke depan, tanpa memperdulikan aku.
Kulihat
di luar malam semakin pekat. Angin dingin menyusup dari cela-cela
jendela yang sedikit terbuka. Aku menutupnya perlahan dan mengeluarkan
jaket. Hatiku mulai tenang, meski tanda tanya masih menggelayut di
benakku.
Perlahan
laju bus menjadi lamban. Dan derit suara rem yang terinjak kembali
memekik. Beberapa penumpang berdiri. Di antaranya seorang ibu dengan
bayi mungil dalam dekapannya. Wajah mereka kaku, berjalan menuju pintu.
Seberkas cahaya melesat dan membawa mereka. Putih. Suara desut
tertinggal di kejauhan.
Aku
menatap kepergian mereka dengan dingin. Namun tanda tanya begitu banyak
menggelayut di kepalaku. Kupejamkan mata dan menenangkan perasaan.
Benar-benar kejadian aneh yang tak dapat kucerna dengan pikiranku. Orang
tua di sampingku duduk tenang dengan pandangan lurus ke depan, seolah
menerobos pekatnya malam.
Perlahan lelaki tua itu menoleh ke arahku. Wajahnya tenang menyimpan berlaksa misteri.
“Mereka
telah pergi, tapi jangan katakan mati. Mereka tidak mati. Mereka bangun
hanya dari mimpi yang selama ini melenakan. Mereka adalah jiwa yang
tenang, penuh kemenangan,” ucapnya lirih.
Aku
menatapnya tenang. Aku berusaha menata hatiku. Menata segala yang
menggelisahkanku. Lelaki tua itu kembali tersenyum. Teduh sekali. Hampir
tak ada kegetiran yang berkecamuk dalam jiwanya. Aku ingin bertanya,
tapi kerongkonganku seakan tersumbat dan lidahku menjadi beku. Aku hanya
mampu melekatkan pandanganku ke wajahnya, lalu ke luar jendela di mana
malam begitu membekukan.
Perjalanan
terasa makin panjang. Ketakutan kadang menyerangku tiba-tiba. Namun
pudar begitu saja oleh senyum orang tua yang duduk tenang di sampingku.
Udara di dalam bus pengap, terasa tak ada kehidupan di dalamnya. Laju
bus kurasakan semakin kencang. Di luar tak kulihat bulan terlebih
bintang. Kaca-kaca jendela bus terlihat retak membentuk peta-peta sunyi.
Lalu….
Suara
derit kembali melengking. Seorang lelaki hampir setengah baya dengan
pakaian jas dan dasi serta rambut yang disisir licin, berdiri. Wajahnya
beku. Perlahan ia berjalan menuju pintu. Tubuhnya perlahan koyak
seberkas cahaya begitu cepat menerjang dan menarik lehernya, lalu gaib,
menyisakan lengkingan panjang menyayat di kejauhan. Aku terhenyak.
Orang
tua itu berpaling ke arahku. Tatapannya sejenak membentur kedua bola
mataku lalu kembali menatap ke depan. Pandangan matanya tenang; teduh.
“Pelatuk-pelatuk
kematian telah ditarik dan di arahkan ke jantungnya dengan tergesa-gesa
dan kejam. Kepergian baginya adalah ketersiksaan,” ujarnya tanpa
menoleh kepadaku.
“Ia
mungkin tak tahu atau telah mendustakan bahwa ruang dan waktu bukanlah
miliknya. Ia tahu awal, tapi ternyata melupakan akhir.” Suaranya
terdengan parau, namun masih tetap tenang.
Aku
hanya terdiam. Otakku seperti tak dapat lagi kugunakan untuk mencerna
apa yang terjadi di hadapanku. Beribu tanda tanya terus menggelayut.
Perjalanan
kurasakan semakin panjang. Di luar angin terasa begitu membekukan. Dan
malam masih pekat menggelayut. Satu persatu para penumpang turun. Kadang
suara jeritan melengking di kejauhan, kadang sunyi mencekam. Ada tangis
yang menjalar dari kesunyian. Halus, lirih merintih dan menyusur labur
di malam yang pekat. Lalu diam menyelinap tiba-tiba. Angin berhenti
berhembus.
Orang
tua di sampingku terdiam. Wajahnya beku. Kursi-kursi yang berjejer di
dalam bus perlahan menjadi kusam. Dinding-dinding bus retak-retak dan
berkarat. Di luar hembusan angin seketika berhenti. Malam begitu
mencekam. Pepohonan berdiri diam, tegak menatap kaku.
Kulipat
kedua tanganku di depan dada. Perasaanku kembali tak menentu. Aku
merasa dipenjarakan dalam ruang yang begitu sumpek dan mengerikan.
Gelap. Wajah-wajah yang beku. Angin yang berhenti. Pepohonan yang
angkuh. Sunyi mencekam. Dan jeritan halus, lirih di kejauhan menyayat;
perih.
Orang tua itu masih terdiam. Wajahnya nampak semakin beku. Tak ada ekspresi seperti sebelumnya. Ia menatap kosong ke depan.
“Kini giliranku. Saatnya aku harus pergi,” ucapnya tanpa menoleh.
“Aku telah dipanggil.” Suaranya lenguh.
Aku terdiam. Begitu dingin.
“Kamu belum saatnya pergi.” Semakin tanpa daya.
Ia lalu bangkit, berjalan tanpa menoleh. Dan seperti sebelum-sebelumnya, ia pun pergi. Lalu sunyi….
Teramat
dingin. Semuanya seperti mati. Tinggal aku sendiri. Semuanya telah
pergi. Bahkan sopir yang membawa kami pun tak lagi kulihat.
Kebingungang
menggerayangi kesadaranku. Aku benar-benar tak mengerti apa yang telah
terjadi. Sungguh, aku tak benar-benar mengerti….
***
“Ia sudah sadar…. Lelaki itu sudah siuman….”
Sayup-sayup
kudengar suara begitu gaduh. Semuanya tiba-tiba menggema dan
menggelitik kesadaranku. Perlahan mataku terbuka. Cahaya yang
menyilaukan memicingkan mataku.
Meski agar kabur, aku lebih dulu menemukan wajah ibu. Guratan kecemasan sedikit demi sedikit nampak jelas di wajahnya. Tubuhku terasa sakit.
“Alhamdulillah, kamu selamat.”
Tubuh ibu dengan cepat menghambur ke arahku.
“Hanya kamu satu-satunya yang selamat, nak.”
Pelukan
ibu begitu erat. Tubuhku yang berada dalam pelukannya kurasakan seperti
remuk. Rasa sakit mencengkram. Sesekali aku meringis.
“Hanya aku…? Maksudnya…?
“Jadi mereka….?”
“Orang tua itu….?” oke
Makassar, 3 Desember 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar