Tubuh
Hugh seketika mengejang. Wajahnya memerah dan raut mukanya menegang
seperti sedang menahan beban yang maha berat. Tubuhnya terkulai. Hening.
Istrinya hanya mampu menatap pasrah. Wanita itu tak mampu menahan
keinginan suaminya. Di sebuah rumah tua yang dibangunnya dua puluh tahun
lalu, di pinggiran kota Michigan, Hugh telah mengakhiri penderitaannya
karena penyakit emphysema, jenis penyakit paru-paru akut, yang telah membuatnya begitu menderita selama bertahun-tahun.
Dinding
kamar bisu. Udara beku, menyaksikan seorang manusia harus mengakhiri
hidupnya dengan tragis. Beberapa lukisan yang terpajang di dalam kamar,
sesekali bergoyang tertimpa angin yang menyusup lewat jendela. Suara
isak tangis istri Hugh menyeruak kesunyian.
Dr.
John, sang penolong eksekusi, hanya menatapnya dengan tabah. Sebenarnya
ada kengerian yang terlintas di benaknya. Terlebih tatkala melihat
tubuh Hugh menggelepar dan mengejang. Ia juga sebenarnya begitu ngeri
menyaksikan wajah Hugh yang menegang dengan warna kemerahan. Dan
kebimbangan terkadang menyusupi batinnya saat ia melakukan perkerjaan
ini.
Perlahan
John melangkah ke tepi pembaringan. Dilepaskannya masker yang menempel
di wajah Hugh perlahan. Ia mulai berkemas. Bersama asistennya, John
membereskan semua peralatan yang digunakanya melakukan eksekusi terhadap
Hugh. Sebuah tabung gas monoksida (CO) yang tidak terlalu besar dan
beberapa peralatan lainnya dimasukkan kembali ke dalam tas yang cukup
besar.
Istri
Hugh masih terdiam memandang suaminya yang sudah tak bernyawa lagi. Air
matanya masih berlinang membasahi pipinya yang telah banyak ditumbuhi
keriput. Sesekali ia mengusap air matanya perlahan, lantas menarik nafas
panjang. Dadanya terasa sesak. Ingin ditumpahkannya semua perasaannya
di dada suaminya.
Perlahan
ia mendekati suaminya. Langkahnya gontai menuju ke tepi pembaringan dan
duduk di sisinya. Dengan mesra ia mengusap wajah lelaki tua yang
menikahinya 30 tahun lalu itu. Perlahan wanita tua itu menciumi wajah
suaminya yang telah memberikannya seorang anak, yang ketika Hugh harus
mengakhiri hidupnya, sengaja tak diberitahu. Hugh memang tak ingin anak
satu-satunya itu menyaksikan kepergiannya yang menyedihkan.
“Hugh,
kau telah menjadi eksekutor bagi dirimu sendiri. Aku tahu mengapa kau
berbuat seperti itu. Tapi, apakah penderitaan fisik telah meluluhkan
keimananmu. Kau orang yang beragama dan mempercayai Tuhan. Namun,
mengapa kau sampai berbuat seperti ini. Aku sebenarnya tak setuju
membiarkanmu berbuat begini, meski aku juga tak kuasa menghalangimu.
Terlebih jika menyaksikan penderitaan yang telah kau alami sejak
penyakit jahanam itu menggerogotui tubuhmu.” Suaranya semakin melemah
akibat terbendung oleh isaknya.
Wanita
tua itu perlahan memeluk tubuh Hugh. Tubuhnya terguncang. Air mata yang
mengaliri pipinya menetes membasahi wajah suaminya yang tanpa ekspresi.
“Anda
harus tabah menerima kenyataan ini. Semua ini memang kemauan Pak Hugh
sendiri. Dia ingin melepaskan semua penderitaan yang selama ini
dialaminya. Penyakit itu telah menggerogoti tubuhnya. Ia tak tahan dan
akhirnya mengambil keputusan untuk segera mengakhiri hidupnya,” ucap
John berusaha menenangkan perempuan tua itu.
John melangkah mendekati nyonya Hugh dan perlahan melepaskan pelukan wanita itu dari tubuh suaminya.
“Nyonya harus merelakan kepergiannya. Ini mungkin bagian perjalanan yang harus ia lalui.”
Dengan
perasaan berat, istri Hugh melepaskan pelukannya. Perempuan itu duduk
mematung. Sorot matanya yang mengabur akibat air mata masih saja menatap
ke arah suaminya. Nafasnya terkadang masih tersengal.
Perlahan John
meninggalkan kamar. Istri Hugh masih berdiri mematung. Seorang pembantu
tergopoh-gopoh memasuki kamar dan terkejut saat menyaksikan majikannya
tak bernyawa lagi.
“Kita harus segera menyiapkan prosesi penguburkannya.”
Istri Hugh perlahan menyisih dari tepi ranjang dan melangkah meninggalkan kamar.
***
Krinnggg. Krinnggg. Krinnggg.
“Halo. Dokter John, ada.”
“Saya sendiri.”
“Dari Jack. Saya sangat membutuhkan bantuan Anda. Kalau bisa Anda segera datang ke tempat saya di New Jersy.…”
“Okey. Saya akan segera berangkat.”
“Klaak.”
Dokter John
meletakkan gagang telepon. Sejenak ia termenung. Matanya mengembara ke
sekitar ruang tamu yang dihiasi berbagai lukisan. Gelas di tangannya
diletakkan di atas meja yang berada di depannya. Perlahan dia
mengheyakkan pantatnya di atas sofa yang empuk. Lama ia terduduk. Begitu
berat rasanya ia harus melakukan lagi sesuatu yang banyak ditentang
oleh orang. Namun, ia seperti harus menolong orang itu. Pikirannya
melayang. Tanpa disadarinya, seorang wanita setengah baya
menghampirinya. Ia menatap John dengan wajah kebingungan.
“Ada apa, Pak?”
“Baru
saja saya menerima telepon. Ada seseorang yang meminta bantuan,”
jawabnya sembari mengelah nafas dan membuangnya dengan cepat. Terasa
berat. Diraihnya kembali gelas minuman dan meminumnya. Suara tegukan
terdengar jelas.
Wajah
istrinya seketika berubah murung. Ia sebenarnya begitu berat melepas
suaminya untuk melakukan pekerjaan yang sangat bertentangan dengan
nuraninya itu. Ia tak ingin suaminya menjadi algojo bagi orang lain.
Sudah berulang kali ia memberikan masukan kepada John. Namun, berulang
kali pula, ia mendapatkan begitu banyak alasan.
John
menatap istrinya. Perempuan itu hanya terdiam. Ia tahu gejolak batin
suaminya. Namun, ia juga tahu suaminya tak akan bisa menolak. Karena tak
mampu lagi berkata apa-apa, dengan wajah cemberut, perempuan itu pun
meninggalkan John yang masih terpaku.
John
bangkit dari duduknya. Ia meraih gagang telepon dan menghubungi dua
asistennya. Tak lama berselang dua orang berpakaian putih-putih memasuki
rumah dengan menenteng beberapa tas. Setelah berkemas, mereka lalu
melangkah ke luar menuju tempat mobil John diparkir. Sebuah mobil BMW
kelabu metalik pun meluncur ke luar kota. Istri John hanya memandangi
suami bersama dua asistennya meninggalkan rumah. Sesak begitu terasa di
dadanya.
***
Kota
New Jersey masih gelap. Lampu-lampu jalan seakan berlomba memendarkan
cahayanya menerangi kebisingan kota yang masih ramai dengan kendaraan
dan lalu-lalang orang-orang dengan kesibukannya masing-masing. Angin
kencang bertiup menggoyangkan pohon-pohon yang tumbuh di tepi jalan.
Kendaraan
John melaju perlahan menuju rumah Jack di pinggiran kota New Jersey. Di
depan sebuah rumah yang cukup besar, perlahan mobil itu berhenti. Di
halamannya nampak dua buah mobil terparkir rapi. Setelah memarkir
mobilnya di belakang kedua mobil tersebut, John dan kedua asistennya
melangkah menyusuri halaman yang cukup luas dan langsung masuk ke dalam
rumah.
“Halo. Saya Dr. John. Apa kabar.”
“Baik. Silahkan masuk.”
“Mr. Jack ada.”
“Tuan sedang menunggu di kamar. Silahkan, mari saya antar.”
Dengan
cepat mereka melangkah memasuki kamar yang terletak di pojok ruang
tamu. Sebuah ruangan yang cukup besar. Di dindingnya hiasan lukisan
tergantung rapi. Bunga-bunga dengan berbagai warna terletak di atas dua
buah meja, memberikan rasa sejuk orang yang memandangnya. Di atas
pembaringan, Jack terkulai ditemani istrinya. Wajahnya sedikit pucat
memandang kedatangan Dr John yang berjalan menghampirinya. Namun ia
tetap berusaha tersenyum. Begitu berat.
“Selamat malam, Mr Jack. Saya Dr John.”
“Selamat
malam.” Mr. Jack berusaha bangkit dan bersandar di tepi pembaringan.
Tapi tidak bisa. Ia merasa seluruh tubuhnya remuk.
“Boleh saya lihat data-data medisnya...?”
John
perlahan mengambil beberapa berkas yang disodorkan padanya. Ia lantas
mengamati dengan seksama. Cukup lama. Perlahan ia mengangguk-angguk.
“Anda benar-benar membutuhkan pertolongan?”
“Ya. Saya sudah tak tahan dengan penyakit ini.”
“Tapi apakah, Anda tidak pernah mencoba cara pengobatan lain?”
“Saya
sudah mencoba berbagai terapi dan obat-obatan. Dan untuk dioperasi pun
sudah tak mungkin. Kata dokter, penyakit ini sudah tak mungkin lagi
diobati secara medis.”
“Tapi,
apakah Anda sudah yakin dengan jalan yang Anda akan tempuh saat ini.
Atau masih ada pertimbangan lain. Bagaimana dengan istri anda?”
“Saya sudah pasrah. Saya yakin inilah jalan satu-satunya untuk lepas dari penyakit ini.”
“Bisa kita mulai sekarang?”
“Saya sudah siap, silahkan.”
“Silahkan berbaring!”
Jack
perlahan merebahkan tubuhnya. Dr John mengeluarkan tabung gas Karbon
Monoksida (CO) dan masker yang berada di tas yang dibawa kedua
asistennya. Ia mendekati Jack dan memasang masker itu ke wajahnya.
“Anda benar-benar sudah siap? Berdoalah.”
“Ya. Saya sudah siap.”
Perlahan-lahan
Dr John memasang masker yang pipanya tersambung langsung dengan tabung
gas karbon monoksida dan klep untuk membuka-tutup aliran gas ke wajah
Jack. Tangan Jack perlahan memegang klep tabung dan membuka aliran gas. Tubuhnya
menegang dan wajahnya berubah kemerah-merahan. Nafasnya mulai
tersengal-sengal. Namun, beberapa saat kemudian ia meronta dan berusaha
melepas masker di wajahnya. Tanpa sengaja, Jack memutar klep tutup
aliran gas dan juga berhasil membuka masker yang menutupi wajahnya.
Nafasnya tersegal-sengal.
“Kenapa? Anda belum siap?” John menatap wajah Jack.
Istrinya memeluk tubuh Jack yang semakin lemah.
“Sudahlah,
Pak. Hentikan perbuatan ini. Aku tidak tega melihatmu seperti ini.” Ia
melingkarkan tangannya ke tubuh lelaki yang telah kehilangan harapan
hidup itu.
Mata Jack menerawan ke langit-langit kamar.
”Aku harus melakukannya.”
Jack
kembali mengambil masker dan memasang sendiri ke wajahnya. Perlahan ia
membuka klep tabung. Tubuhnya kembali menegang. Nafasnya kembali
tersengal-sengal. Raut wajahnya merah darah dan matanya yang melotot.
Tangannya berusaha membuka masker, tapi tak bisa. Tenaganya telah habis.
Akhirnya masker baru dapat terlepas dengan bantuan Dr John. Namun, ia
sudah tidak sadarkan diri dan segera dilarikan ke rumah sakit. Sayang
sebelum sampai di rumah sakit, nyawanya tak dapat tertolong lagi. Jack
telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Di
atas mobil ambulance yang membawa tubuh Jack, Dr John menatap kaku
tubuh yang tak lagi bernyawa di hadapannya. Perasaannya tiba-tiba
seakan dicabik-cabik rasa kesedihan dan sesekali penyesalan. Perseteruan
nurani begitu hebat mengguncang kesadarannya.
Kamu telah melakukan pembunuhan!
Tidak! Aku hanya menolong dan membantunya keluar dari penderitaan yang sekian tahun dideritanya.
Tapi kau telah membunuhnya. Kau kejam. Kau kejam...kejam…kejam…!
Tubuhnya
tiba-tiba gemetar. John lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Di sampingnya, tangis istri Jack meledak di antara deru mesim dan
raungan sirine ambulance yang berlari kencang.
***
“Halo, John. Ini Mike.”
“Hai, Mike. Apa kabar. Kemana saja selama ini?”
“Aku
baru pulang dari Jepang. Aku dengar kau sedang menghadapi masalah
besar. Kau dituduh telah melakukan pembunuhan terhadap pasienmu.”
“Aku
tidak pernah membunuh pasienku. Aku bahkan merasa telah menolong mereka
untuk keluar dari penderitaan yang telah sekian lama menggerogoti
mereka. Semua pasien yang meminta bantuanku, sudah tak mampu lagi
melawan penyakitnya. Mereka rela. Dan tentu sebagai dokter, aku tak
dapat menolak. Aku harus menolong mereka semampuku.”
“Tapi
yang kau lakukan itu merupakan tindakan pembunuhan. Apakah itu diatur
dalam undang-undang atau tidak, tidak soal. Yang pasti itu merupakan
tindakan yang tidak berprikemanusiaan.”
“Menurutku justru euthanasia pasif
merupakan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Kita membiarkan
pasien pergi begitu saja. Menyuruh mereka menjalani penderitaannya
sekian lama sampai mereka mati. Apakah tidak sebaiknya kita mempercepat
saja kematiannya, agar pasien tidak perlu berlama-lama menanggung penderitaan.”
“Tapi euthanasia pasif
masih memberikan peluang hidup kepada mereka, bahkan terkadang membawa
orang pada kesembuhan. Aku tahu ada beberapa penyakit, seperti kanker
akut, bukan hanya membuat pertahanan tubuh rapuh, tapi juga melemahkan
pertahanan mental seseorang. Nah, justru karena pertahan fisik mereka
telah rapuh, maka kewajiban kita bagaimana agar pertahan mental mereka
juga tidak menjadi rapuh.”
“Tapi
itu bukan urusan kita. Itu urusan rohaniawan. Kita hanya mengobati
dengan kecanggihan teknologi. Kalau tidak sanggup, apa lagi yang harus
kita lakukan. Membiarkan mereka menderita sekian lama? Rasanya aku tak
sanggup melihat mereka menderita dan mengemis-mengemis kepadaku untuk
segera dibantu mengakhiri hidupnya. Ya, aku merasa begitu berat untuk
menolaknya.”
“Urusan
rohaniawan, katamu. Tapi, kita juga dapat memberikan pertahanan mental
itu dengan logika dan argumen kedokteran yang digabung dengan
pengetahuan agama yang kita miliki. Apakah ini tidak lebih baik. Kita
memberikan pencerahan agar jiwa mereka sedikit tenteram. Bisa saja
mereka akan merasa tidak sakit dan siapa tahu mereka benar-benar akan
sembuh.
Karena perintah ke otak mereka semuanya positif untuk sembuh.
Otomatis DNA dalam tubuh mereka akan memproduksi enzim yang mungkin saja
dapat membunuh virus atau apa saja yang menyebabkan penyakit mereka.
Itukan bisa saja terjadi. Ini dunia sobat. Segala sesuatunya bisa saja
terjadi tanpa kita sadari.”
“Tapi sekali lagi, aku tidak tega....”
“Apakah
kau juga tega melihat mereka harus kehilangan nyawa dengan tubuh
menggelepar dan mata yang melotot, seakan takut roh pergi meninggalkan
tubuhnya?” Mike tiba-tiba memotong, “Kau tega menyaksikan semua itu
terjadi di hadapanmu? Aku heran.”
Sejenak John terdiam. Gagang telepon dipindahkanya ke sebelah kiri telinganya. Ia mengusap wajahnya dan menarik nafas panjang.
“Tapi
semua yang kulakukan itu karena rasa kasihan melihat penderitaan
mereka. Aku berpikir, apakah mereka tidak sebaiknya mengakhiri hidup
daripada harus menanggung penderitaan?”
“Ya.
Aku tahu. Tapi tindakanmu itu tidak tepat. Kau telah menjadi algojo
bagi orang lain. Mengapa tidak melakukan konsultasi dengan agamawan yang
mengetahui banyak tentang kematian. Setidaknya dapat memberikan sedikit
pencerahan agar jiwa mereka sedikit lebih tenteram. Malah terkadang
karena nasehat tersebut, pasien dapat berjiwa besar dan bahkan di
antaranya terkadang ada yang sembuh.”
“Ah, sudahlah. Kali lain kita dapat mendiskusikan masalah ini. Ok. Sampai jumpa.”
”Klak.”
John mendengus.
Ia masih bimbang. Menurutnya kematian tidak relevan dengan agama.
Mereka toh tidak merasa takut. Mereka beragama, tapi tak seorang pun
yang mau mengkonsultasikan tentang kematian mereka. Ketika
melihat kematian, mereka malah siap menghadapinya.
***
Suatu
malam yang dingin. Sesosok bayangan menyelinap ke dalam kamarnya dan
berusaha memasang masker ke wajahnya. John terkejut dan meronta. Mereka
pun bergelut. Namun, dengan sigap bayangan itu membuka klep tabung gas
monoksida yang berada di tangannya.
Seketika
John terbangun. Tubuhnya penuh keringat. Nafasnya tersengal-sengal.
Pandangannya menebar ke seluruh sudut kamar. Dan di keremangan, ia
melihat tubuh istrinya terlentang dengan masker di wajahnya. Sepucuk
surat tergeletak di sisinya….
Suamiku….
Kau selalu menolong orang dengan alasan, karena mereka mengidap
penyakit yang membuat mereka sangat menderita. Tapi, kau tak mampu
menolong diriku. Bertahun-tahun aku begitu tersiksa dan menderita
melihat kau menjadi malaikat maut bagi sesamamu. Tapi aku tak perlu
pertolonganmu. Biarlah aku yang menolong diriku sendiri….
Lourens
Oke
Makassar, awal kesepian 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar