Jumat, 31 Oktober 2014

Sang Maut

Pada mulanya adalah ketiadaan. Lalu hidup dan mati menjelmakan diri. Mati menjelma ketiadaan hidup; hidup menjelma ketiadaan mati. Angin berkesiur. Lalu diam. Bayangan pepohonan bergerak. Kemudian hening. Satu persatu retas dalam hitungan-Nya. 
 
Dan… di bawah sepenggal langit yang tersisa. Di sana ada mati. Ada hidup. Tak ada keabadian. Maka satu persatu dedaunan gugur ke tanah. Burung-burung yang merentas langit kembali ke asalnya.  Kefanaan adalah keniscayaan dunia. 
 
Mati. Bagaimana mati bercerita tentang hidup. Ketika ketiadaan menanti di atas bumi. Adalah mengapa mati membuat tiadanya keniscayaan abadi. Mengapa mati menjadi sesuatu yang menakutkan? 
 
Lalu, bagaimana ketika seorang kakek yang telah tua renta hanya tersenyum manakala malaikat maut datang dan mengajaknya berjalan-jalan di angkasa, menyingkap tirai-tirai langit yang selama hidupnya hanya dapat ditangkap dengan matanya yang ternyata juga fana. Mungkin mati berlalu tanpa kesan. Tak ada sepotong tangis. Tak ada  kepedihan atau mungkin ketakutan.
 
“Siapa?”
 
“Aku. Malaikat maut.”
 
“Syukurlah. Akhirnya kamu datang juga.”
 
Dan ketika pertama malaikat maut mengetuk pintu, sang kakek berdiri membuka pintu dengan senyum tulus, lalu mempersilahkannya masuk dan duduk. Ia lantas bergegas ke belakang dan dengan tangan gemetar akibat ketuaan, datang membawa secangkir kopi dan sepiring singkong  rebus yang masih mengepulkan asap. 
 
Lantas, di  manakah mati, ketika malaikat maut datang? Ia malah duduk kemudian hanya bercerita dan bercanda dengan sang kakek. Ia tertawa. Bahkan sang kakek sampai terpingkal-pingkal, terlebih saat menyaksikan Sang Maut tertawa. 
 
Sang Maut bercerita. Bercerita tentang apa saja yang tak tertangkap oleh nalar orang tua renta itu. Dengan bahasa yang juga tak pernah dikenal sang kakek. Dengan suara yang juga tak pernah didengar dengan telinganya. Tapi, ia tahu, Sang Maut berkata jujur. Ia tahu, Sang Maut ingin mengajaknya pergi. Pergi ke tempat yang ia sendiri tak sanggup menjelaskannya dengan nalar kemanusiaannya yang hanya setitik air di lautan yang maha luas.
Sang Maut adalah tempat pertemuan. Dan mati bukanlah suatu peristiwa yang kejam. Ia hanya bagian dari sebuah rencana Maha Agung. Sang Maut terus bermain tanpa pernah merasa berdosa. Dan sang kakek adalah sebuah kerinduan yang menanti. Sang kakek adalah kepasrahan. Ia adalah kecintaan yang membuncah dan selalu menggelegar.       
Pertemuan seorang kakek tua dan Sang Maut adalah kepastian. Kerinduannya selalu hadir. Ada yang tak mereka mengerti. Pertemuan mereka adalah awal retasnya kefanaan. Keduanya adalah sedikit dari cinta yang agung. 
 
Maka, setelah berkemas. Sang kakek berjalan menghampiri Sang Maut. “Bagaimana…? Kita pergi sekarang?” ucap sang kakek sambil memegangi perutnya yang mules akibat tertawa.
 
Tapi Sang Maut kembali tertawa. “Sebentar lagi. Kau sangat lucu. Aku tak dapat menahan tawa. Aku senang bertemu denganmu.”
 
“Tapi ‘kan tugasmu untuk membawaku jalan-jalan? Membawaku meninggalkan tempat ini. Sebagai malaikat maut, engkau tak boleh lalai dalam melaksanakan tugas.”
 
“Iya, aku tahu. Tapi ini belum saatnya. Aku hanya datang menjengukmu.”
 
“Lalu kapan? Aku ingin sekali pergi ke tempat-tempat yang kau ceritakan tadi. Menurutku tempat itu sangat indah. Di dunia ini mana ada tempat semacam itu. Aku benar-benar ingin melihatnya. Menghirup bau bunga-bunganya yang pasti semerbak. Tak seperti semerbaknya aroma bunga-bunga di bumi tempatku mengais-ngais hidup ini.”
 
“Sabarlah.”
 
“Tapi kapan?
 
“Waktunya pasti akan tiba. Kamu juga nantinya akan terus berada di tempat itu. Kamu nikmati dululah pertemuan kita ini. Aku tahu kau sangat berbahagia dengan kedatanganku.” 
 
Dan Sang Maut terus saja tertawa. Lelaki tua itu juga tak mau kalah. Tawanya semakin berderai menyembulkan gusinya yang sudah tak bergigi.

***

Namanya Daeng Rani. Lelaki renta dengan nasib renta hidup di sela-sela kerentaan batin manusia-manusia. Ia hanya bagian yang tak begitu penting dalam catatan panjang kehidupan manusia. Mungkin ia bahkan tak begitu penting bagi dirinya sendiri. 
 
Daeng Rani adalah hidup yang di dalamnya ada mati. Malaikat maut masih saja bersamanya. Duduk dalam ketiadaan. Martil-martil kematian telah digenggam dan di arahkan ke jantungnya. Kepergian baginya adalah kebahagiaan. Ia tahu dan tak mendustakan bahwa ruang dan waktu bukanlah miliknya. Ia tahu awal dan tak melupakan akhir.
 
Kematian adalah bayang-bayang. Kematian adalah kenangan. Kematian adalah kepasrahan. Kematian adalah keikhlasan. Kematian adalah keniscayaan hidup. Daeng Rani tahu itu. Daeng Rani lalu berdiri dan menatap Sang Maut yang masih duduk. 
 
“Bagaimana…? Kita pergi sekarang?”
 
“Sebentar lagi. Aku suka melihatmu. Orang sepertimu cukup jarang. Kalau yang lain akan ketakutan bila bertemu denganku. Mereka begitu takut kehilangan dunianya. Tubuhnya gemetaran. Bahkan sampai menjerit-jerit. Menjengkelkan! Kamu malah tertawa. Aku jadi geli melihatmu. Kamu benar-benar lucu.”
 
Tiba-tiba suara tawa Daeng Rani kembali menggelegar. Tubuhnya terguncang-guncang. Tangannya kembali memegangi perutnya yang mules: 
 
“Kamu juga sangat lucu. Mana ada malaikat maut wajahnya seperti kamu. Kamu menawan sekali. Sedang yang ada dalam benakku, malaikat maut itu wajahnya seram; menakutkan. Kamu tidak pantas menjadi malaikat maut. Wajahmu terlalu indah dipandang. Mana ada yang takut melihatmu.” Daeng Rani semakin tertawa. Suaranya menyeruak di antara kesunyian. 
 
Sang Maut kembali tertawa. Tawanya bahkan semakin menggelegar. 
 
“Itu menurutmu. Menurut penglihatanmu. Kamu tak melihatku dengan mata, tapi dengan hati.”
 
“Jadi aku aku harus melihatmu dengan mataku. Bukankah mataku tidak buta. Sejak tadi aku memandangmu dengan mataku yang terbuka lebar. Aku tahu, meski telah sedikit kabur, namun aku masih bisa menangkap garis-garis wajahmu dalam keremangan.  
 
“Kamu benar-benar lucu. Aku senang bertemu denganmu.”
 
Keduanya tertawa. Cahaya bulan muram. Titik air yang terpahat di dedaunan sesekali memantulkan cahayanya yang terkadang buyar dalam gelap. Bunyi kepak sayap burung hantu melengking di kejauhan, meninggalkan suara gemeresek saat menerobos rimbunan dedaunan. 
 
“Sudahlah! Kita pergi sekarang. Aku sudah sangat ingin melihat tempat yang kau ceritakan itu.”
 
Di kejauhan, lamat-lamat suara burung hantu lenguh menyeruak kesunyian. Sang Maut kemudian terdiam. Daeng Rani terpaku. Dinding kamarnya menjelma batu. Ada hitam. Ada gelap. Lantainya menjelma langit. Ada awan. Ada  bulan yang bercahaya. Ada bintang yang berkerlip. Suara angin berhembus begitu lembut.
 
Sang Maut masih duduk. Dan Daeng Rani, dunia baginya adalah mimpi. Kepergian adalah sebuah kedamaian bagi jiwa. Ia ingin meninggalkan tubuh yang telah memenjarakannya. Tapi Sang Maut masih duduk. Ia masih tetap tertawa melihat Daeng Rani yang mematung.
 
“Baiklah kalau kamu belum mau membawaku pergi sekarang. Tapi terus terang aku sudah muak di tempat ini. Aku merasa tersiksa. Kalau memang kau ingin menolongku, cepatlah bawa aku pergi.” 
 
“Kamu memang benar-benar lucu. Ada orang yang sangat takut kubawa, sedang kamu malah sebaliknya.”
 
Daeng Rani terdiam. Ada diam di antara mereka. Diam yang senyap. Tapi belum tentu diam bagi jiwa yang gelisah. Bahkan tidak akan mungkin diam bagi jiwa yang rindu. Diam hanya ketiadaan suara yang tertangkap oleh telinga. Diam hanya ada dalam realitas eksternal. Maka ketika Daeng Rani dan Sang Maut diam, mereka sebenarnya sedang berbincang sambil tertawa. Tertawa dalam rindu yang menggerayangi totalitas penghambaan keduanya. 
 
Malam semakin senyap. Suara-suara serangga meski lenguh, tapi semuanya masih menyisakan sesuatu bagi malam. Daeng Rani duduk. Bola matanya sesekali mendekam dalam pelupuknya. Sang Maut masih tafakur. Kesiur angin menerbangkan gaun putihnya. Daeng Rani terpana.
 
Sang Maut lalu membawanya pergi melintasi ruang dan waktu. Jauh. Bayangan bumi menjauh dan tertinggal di tepi pandangannya. Di atas langit ada cahaya yang berpendar. Keduanya melayang menyusur keabadian. 
 
Daeng Rani terkesiap. Lalu tersenyum. Ada yang lain dalam dirinya. Ada yang kini ia mengerti dan semakin ia pahami. Semuanya benar-benar jelas. Tak ada lagi hijab. Ia tahu Sang Maut tidak akan pernah membohonginya. 
 
Lalu, mati…. Tubuhnya membujur di atas kasur berbalut seprei kusam. Ditatapnya penjara bagi ruhnya itu dalam-dalam. Daeng Rani tersenyum. 
 
“Selamat tinggal.” 
 
Tapi, tak ada yang tertinggal. Tak ada yang hilang. Tak ada yang kurang. Tak ada…. Semuanya begitu sempurna. Daeng Rani benar-benar mengerti. Sang Maut terus membawanya melintasi semua yang selama ini tak pernah tertangkap oleh matanya. Setiap pandangan adalah cahaya-cahaya. Setiap gerak adalah ketiadaan kesiur angin.
“Selamat tinggal,” ucapnya kembali membatin.
 
Tak ada sesal…. Tak ada sedih…. Sang Maut memang tidak pernah berencana. Ia hanyalah pemain. Dan Daeng Rani juga adalah pemain. Keduanya terus bermain dalam sebuah lakon panjang dan baka. Keduanya terus menjauh dari kefanaan.
 
Jauh. Kefanaan tersesap baka. Keduanya terus melesat. Tak ada lagi beban yang Daeng Rani rasakan. Ia mengembara di alam yang begitu sulit ia lukiskan.  Kerinduannya semakin besar. Semakin jauh meninggalkan dunia, ia merasa kian dekat dengan kerinduan. Tak ada kehampaan yang tersisa. Semuanya menjelma dalam berlaksa makna.
 
Kerinduan membuatnya tak lagi ingin kembali. Dibuangnya jauh-jauh kefanaan yang telah memenjarakannya. Ia sungguh tak ingin lagi kembali. Ia ingin menjelma sebuah keabadian. Keabadian yang selalu dinantikannya. Hidup di sebuah alam yang penuh dengan kerinduan dan cinta.  Ia benar-benar tak ingin kembali.
 
Tapi… semuanya terjadi begitu cepat…. Lalu, hidup. Ada yang tiba-tiba memuakkannya. Seketika ia kembali terpenjara dalam jasad yang telah ditinggalkannya. Tak dapat bergerak. Tak ada kuasa. Yang tersisa hanya ketersiksaan. Kesedihan begitu garang menampakkan wajahnya. Tangan-tangannya menjulur beringas berusaha keluar dari tubuh yang dengan cepat kembali memenjarakannya. 
 
Daeng Rani terkesiap…. Sang Maut pun bergegas meninggalkannya. Ruang dan waktu tiba-tiba mengungkungnya. Ia meronta. Terus dan terus. Sang Maut berlalu tak peduli. Pergi menjauh, ke tempat yang pernah disaksikannya. 
 
“Mengapa malaikat maut tak membawaku. Bukankah secangkir kopi dan sepiring singkong rebus yang masih hangat adalah sebuah kebaikan? Atau tak cukupkah jika ditambah dengan keramahan dan keikhlasan?” Daeng Rani terpaku.
 
“Mengapa malaikat maut tak lagi menertawaiku sebelum ia bergegas pergi meninggalkanku? Katanya aku begitu lucu. Padahal aku merasa tidak. Tapi biarlah. Aku tak perduli semuanya. Bukankah itu juga adalah sebuah kebaikan? Yang kuinginkan hanyalah pergi bersamanya….”
 
Lalu hening…. Daeng Rani terus menanti. Kerinduan pada Sang Maut begitu menggelisahkannya. 
 
Berjam-jam. Berhari-hari. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun. Sang Maut tak juga menampakkan diri. Setiap hari Daeng Rani hanya duduk di depan rumahnya. Segelas kopi dan sepiring singkong rebus yang masih mengepulkan asap terhidang di atas meja. Tapi Sang Maut tak juga kunjung datang. 
 
Hingga…
 
Di suatu malam yang pekat. Cahaya bulan terhisap oleh tumpukan awan hitam. Angin tak lagi berkesiur dengan ramah. Malam yang membutakan. Sungguh memabukan.  
 
“Siapa di luar?”
 
“Aku.” Seorang dengan wajah yang tertutup kain hitam muncul di balik pintu yang terbuka dengan paksa.
 
“Siapa kau?”
 
“Orang yang akan membunuhmu.”
 
“Akkhh…!” 
 
Tubuhnya seketika gemetar. Butiran-butiran keringat bermunculan dari seluruh pori-porinya. 
 
“Mengapa kau bukan malaikat maut?” 
 
“Aku juga malaikat maut.”
 
Lalu malam menjelma kebisuan. Sepotong nisan berdiri kaku. (Ok)

Makassar, April- Mei 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar