Melihat
Roni, anakku, aku ingat Aco. Kelakuan adikku itu terlihat jelas pada
diri Roni. Aco yang ketika itu berumur 4 tahun, hampir seumur dengan
Roni sekarang, sangat sayang pada kucing. Ia memiliki kucing piaraan
yang ayah beri nama si Manis. Seperti Aco, Roni juga sangat sayang pada kucing.
Si
Manis bukanlah kucing biasa. Dari penampilannya, ia telah menampakkan
keistimewaan dibanding dengan kucing-kucing lainnya. Tubuhnya besar
dengan ekor yang panjang. Bulu-bulunya halus dan bersih dengan warna
yang sangat unik: ungu tua. Dengan warna bulu seperti itu, si Manis
banyak mendapat perhatian di lingkungan tempat kami tinggal. Warnanya
memang sangat langka. Bahkan orang-orang yang melihatnya menyangka,
kalau bulunya di cat.
Ayah
menemukannya di jalan, ketika hujan deras mengguyur. Saat itu, si Manis
basah kuyup. Ayah lalu mengambilnya dan membawanya ke rumah. Terus
terang kami sekeluarga memang sangat takjub dengan warna bulunya. Dan
akhirnya kami sepakat untuk memeliharanya. Si Manis lalu tumbuh menjadi
kucing yang periang. Gerak-geriknya sering membuat kami tertawa.
Ada
peristiwa yang selalu membuatku selalu teringat padanya. Suatu pagi aku
terbangun karena kaget. Terasa seperti ada yang menjilat-jilat pipiku.
Ketika mataku kubuka ternyata si Manis berada di atas dadaku sambil
mengeong-ngeong. Ia seperti ingin membangunkanku. Aku begitu bersyukur,
karena saat itu aku memang ada janji penting dengan dosen. Hampir saja
aku ketiduran karena kelelahan mengerjakan tugas kuliah sampai subuh.
Entahlah mungkin kebetulan. Namun kejadian seperti itu ternyata bukan
hanya aku yang mengalaminya, bahkan hampir seluruh keluarga kami.
Sejak
kucing itu dibawa ke rumah, adikku, Aco, selalu menjadi teman
sepermainannya. Mereka begitu akrab, seperti telah saling memahami. Aco
memang paling bungsu dalam keluarga kami. Terlebih jarak 10 tahun dengan
kakaknya yang terakhir membuatnya tak punya teman bermain. Adikku
memang begitu menyayangi binatang tersebut. Ke mana-mana, ia selalu
menggendongnya. Saat makan, ketika menonton TV bahkan saat beranjak ke
pembaringannya, hingga tertidur, mereka selalu bersama. Bulu-bulu si
Manis kerap dielus dan disisirnya.
Kebersihannya
juga tak pernah kami abaikan. Dua kali seminggu, si Manis dimandikan.
Dan untungnya, jika si Manis hendak kencing atau berak, ia selalu
mencari tempat yang jauh, atau kadang di sudut-sudut halaman belakang
rumah dan menimbunnya. Tidak heran jika bau tahi kucing tak pernah
tercium di rumah kami. Mungkin itu juga yang menjadi kelebihannya.
***
Melihat Roni, anakku, aku selalu teringat adikku. Roni juga
selalu asyik bermain dengan kucing kesayangannya yang kebetulan juga
diberi nama si Manis. Aku menemukannya di tong sampah, ketika sedang
mengais-ngais mencari makanan bersama beberapa kucing lainnya.
Ketika
pertama melihatnya, aku terkejut dengan warna bulunya yang persis sama
dengan bulu si Manis, kucing kami dulu. Bulunya juga ungu tua dengan
ekor panjang yang selalu bergerak meliuk. Di antara kucing di
sekitarnya, ia memang begitu mencolok. Aku lalu membawanya ke rumah.
Kebetulan aku juga suka memelihara binatang, termasuk kucing.
Semula istriku marah-marah.
“Kucing itu membawa penyakit. Apalagi susah mengurus kotorannya. Belum lagi kalau beranak,” cerocosnya suatu hari.
Aku
hanya diam. Biarlah, pikirku, ia juga nanti akan mengerti. Dan terbukti
kucing yang kubawa, tak melakukan hal-hal yang seperti ditakutkan
istriku. Jika hendak kencing atau berak, ia selalu pergi jauh dari rumah
atau ke halaman belakang dan menggali lubang, lalu kembali menimbun
kotorannya dengan kakinya.
Bahkan —suatu ketika aku sempat melihatnya—
mungkin untuk meyakinkan kembali bahwa bau tahinya sudah tidak tercium,
binatang itu pun mengendus-endus di sekitar lubang yang sudah
ditutupnya. Dan mungkin karena belum yakin kalau bau tahinya sudah tidak
tercium, ia kembali mengais-ngais tanah dan menimbunnya. Si Manis baru
meninggalkan tempat tersebut, jika telah yakin bau tahi yang ditimbunnya
sudah tak tercium lagi.
Akhirnya,
karena salah satu ketakutannnya tidak terbukti, istriku mulai terbuka
dan menerima kehadiran si Manis di tengah-tengah keluarga kami. Aku
merasa senang, terlebih Roni, anakku semata wayang. Ia begitu gembira
bermain dengan kucing yang kubawa. Mungkin karena belum mempunyai adik,
padahal usianya menjelang 4 tahun.
Setiap
hari Roni hanya bermain dengan kucing barunya. Jika pulang sekolah, ia
menghabiskan waktunya untuk bermain bersama si Manis. Mainan yang aku
belikan hampir tak pernah disentuhnya. Ia lebih menikmati jika
bersenda-gurau dengan si Manis. Keduanya seolah telah saling memahami.
Seperti saling mengerti tindakan dan ucapan masing-masing. Roni
bercakap-cakap layaknya sedang bercakap dengan teman-temannya. Dan
kucing itu pun seakan menjawab dengan ngeongannya.
“Pa,
Pa, lihat si Manis bermain bola,” teriak Roni begitu riang, suatu hari.
Kulihat kucing itu sedang menendang-nendang bola dan mengejarnya. Roni
begitu menikmatinya. Hingga untuk makan pun, istriku cukup kerepotan
dibuatnya. Ke mana-mana, binatang itu selalu dibawanya. Bahkan ketika
hendak tidur, keduanya selalu bersama.
***
Melihat
Roni, anakku, aku selalu ingat, Aco. Setiap hari, ia selalu bermain
dengan si Manis. Seperti Roni, Aco juga selalu bercerita kepada
teman-temannya tentang kucingnya. Ia begitu membanggakan si Manis di
depan siapa saja. Ke mana-mana Aco selalu membawanya. Keduanya begitu
dekat. Bahkan karena sangat dekatnya, ketika si Manis sakit, Aco selalu
menangis. Ia rajin merawatnya, memberi makan dan kalau malam diberinya
selimut. Aco memperlakukan si Manis seperti manusia.
“Ah, mungkin karena Aco tak punya teman bermain, “ pikirku ketika itu.
Sering
pula jika sedang belajar membaca, ia juga terkadang mengajarkan si
Manis membaca. Aku hanya tersenyum sendiri, jika melihatnya.
“Dasar anak-anak,” pikirku.
Tapi
suatu hari, ketika itu bulan November, saat hujan begitu deras
mengguyur hampir setiap hari, itulah awal hari-hari naas si Manis. Ia
jatuh sakit. Semula kami menganggap sakitnya biasa saja, sama ketika
dulu ia sakit. Tapi hari demi hari keadaannya semakin lemah. Dan seperti
biasa, adikku, sering menangis. Ia bahkan enggan ke sekolah hanya untuk
menjaga kucing kesayangannya.
Akhirnya,
kami sekeluarga jadi bingung. Mau di bawa ke dokter hewan, di kota kami
jelas tidak ada. Dan yang membuat kami bertambah bingung. Sejak itu,
Aco selalu nampak murung. Ia juga kerap menangis. Mungkin karena sesuatu
yang sangat disayanginya mengalami musibah.
Wajar,
semua manusia pasti seperti itu, pikirku ketika itu. Ya, meski mungkin
hanya karena seekor kucing. Tapi kami benar-benar khawatir. Terlebih
ketika Aco juga mulai sakit-sakitan. Walau ia masih tetap pergi ke
sekolah, tapi di sekolah, oleh gurunya, ia juga kelihatan tak bergairah.
Kami
pun semakin khawatir. Seminggu lebih si Manis tak juga kunjung sembuh.
Malah kondisinya makin kritis. Dan Aco juga demikian, sakitnya semakin
menjadi-jadi. Hingga hari-hari naas itu pun tiba. Tak satu pun yang
melihat ketika binatang itu telah tergeletak tak bernyawa lagi.
Saat itu,
ketika baru terbangun, seperti biasanya Aco langsung mencari si Manis
di tempatnya; sebuah keranjang berlapis kain handuk yang tebal. Tapi ia
tak menemukannya. Lalu suara jeritnya pun seketika menggema memekakkan
telinga. Aco terus berteriak memanggil-manggil si Manis.
“Si Manis mana? Ia tidak ada di tempatnya,” teriaknya.
Kami
pun kelabakan dibuatnya. Aku, adikku Ririn, dan ibu dengan sigap
menyusur setiap bagian rumah. Namun kucing itu tak juga ditemukan.
Lantas kami berpindah ke halaman. Sementara Aco, sambil terisak, ikut
pula mencari. Akhirnya kami menemukan si Manis tergeletak di halaman
belakang. Tubuhnya membujur di lubang yang tidak begitu dalam, namun pas
memuat tubuhnya. Wajahnya nampak tenang.
“Masih hangat,” ucapku sambil memegang tubuh binatang itu.
Di
sekitar lubang, tanah-tanah beserakan. Sepertinya lubang yang ditempati
si Manis terbaring untuk selamanya itu, baru saja digali. Kami lalu
berkesimpulan si Manis sendiri yang telah menggali lubang untuk dirinya.
Bulu kudukku seketika merinding. Ririn dan ibu pun demikian. Kami tertegun cukup lama.
“Kucing
ini begitu pintar. Ia memiliki perasaan yang sangat tajam, hingga
matinya pun dapat ia ketahui.” Berbagai macam pikiran tentang si Manis
menggelayut di benakku.
Tapi Aco, sejak si Manis ditemukan, tangisnya belum juga berhenti. Diguncang-guncangnya tubuh kucing kesayangannya itu.
“Ma, kenapa si Manis tidak bergerak?”
“Ia sudah mati, sayang.”
“Mati itu apa, Ma?” Isaknya begitu memilukan.
Sejenak ibu terdiam.
“Mati itu, ya…seperti si Manis ini, tidak bernyawa lagi. Makanya ia tidak dapat bergerak.”
“Tapi mengapa si Manis harus mati, Ma?” Isaknya terus menyeruak di antara kesiur angin yang menggoyangkan dedaunan.
“Ia telah dipanggil Penciptanya.”
“Siapa Pencipta si Manis, Ma?
“Penciptanya, juga yang menciptakan kita.”
“Jadi kita juga akan mati?”
“Iya, sayang.”
“Kalau kita mati nanti akan bertemu si Manis?” Ibu hanya mengangguk.
“Aku mau bertemu si Manis, Ma.”
Sejenak
kami terdiam. Aco terus menangis, meski kami juga tak henti-henti
membujuknya. Aku juga merasa kehilangan. Terlebih setelah menyaksikan
kematian si Manis yang menurutku sangat aneh. Kucing itu seperti
memiliki kekuatan gaib. Seolah begitu dekat dengan penciptanya.
Aku
lalu bergegas mengambil skop dan memindahkan tubuh si Manis, lalu
meneruskan menggali lubang yang telah ada. Setelah cukup dalam, tubuhnya
kembali kumasukkan dan menimbunnya. Setelah selesai, kami pun masuk ke
dalam rumah. Sedang Aco, masih saja duduk di depan gundukan kuburan si
Manis. Meski kami telah berusaha mengajaknya masuk, ia tetap tidak mau
beranjak dari tempatnya. Hampir satu jam lebih Aco duduk sambil terisak, hingga ayah datang dan berhasil membujuknya.
Kematian
si Manis telah beberapa hari berlalu. Namun Aco tetap saja murung.
Beberapa kucing telah kami bawakan sebagai penggantinya, tapi ia tetap
tak mau. Aco malah melempari atau memukul kucing-kucing itu. Mainan yang
kami berikan juga tak membuatnya senang. Ia bahkan enggan ke sekolah
dan lebih parah lagi, ia sangat sulit untuk makan, meski dengan berbagai
cara kami membujuknya. Hanya ayah yang terkadang berhasil.
Tak
heran, jika tubuhnya semakin kurus dan lemah. Penyakit juga makin mudah
menggerogotinya. Dan hari-hari berikutnya, penyakit Aco bertambah
parah. Setiap malam ia selalu mengigau dan memanggil-manggil nama si
Manis. Kami tak mampu berbuat banyak, kecuali membawanya ke dokter. Oleh
dokter, kami hanya diberi obat dan menyuruhnya untuk istirahat.
Karena
penyakit Aco tak juga kunjung sembuh, bahkan makin parah, ia pun di
opname di rumah sakit. Namun hal itu tidak berarti sama sekali. Setiap
malam, ia selalu mengigau memanggil-manggil nama si Manis.
“Ma,
Pa, lihat si Manis sedang bermain-main di sana.” Ia menunjuk ke arah
pintu rumah sakit. Hampir serentak pandangan kami mengekori arah
telunjuknya. Kami tak melihat apa-apa.
“Tidak ada apa-apa, Nak.”
“Lihat, Ma! Ia
sedang melompat-lompat. Ia memanggilku. Aku ingin ke sana. Si Manis
bersama teman-temannya. Bulu mereka indah berwarna-warni.”
“Si Manis sudah mati, Nak.”
“Tidak, Ma. Ia masih hidup. Lihat!” Tangannya kembali menunjuk ke arah langit-langit kamar rumah sakit.
“Ia memanggilku. Aku ingin bermain dengannya.”
Adikku kemudian bangkit. Tapi tubuhnya begitu lemah, hingga ia terhuyung dan kembali terbaring.
“Aku ingin bermain dengan si Manis.” Ia terus merengek. Wajahnya nampak lesu. Matanya sayu.
“Aku ingin bermain dengan mereka…. Aku ingin bermain dengan mereka….” Suaranya lenguh. Bibirnya bergetar.
Kulihat
wajah ibu begitu sedih. Ia terus mengusap wajah adikku. Ayah yang duduk
di sampingnya, hanya terdiam. Kami begitu khawatir dengan keadaannya.
Hingga akhirnya kami kemudian bersepakat untuk memanggil dukun, sebagai
pengobatan alternatif.
Namun
nasib buruk segera menimpa. Belum sempat kami memanggil dukun, Tuhan
lebih dulu memanggilnya. Adikku pun pergi menemui penciptanya. Kesedihan
menyelimuti. Ketika itu kulihat wajah Aco, nampak tersenyum seperti ada
sesuatu yang membuatnya begitu senang, sebelum malaikat maut mengambil
ruhnya. Kudengar ia menyebut nama si Manis. Awan gelap seketika begitu
beringas menerjang kesadaranku. Sepuluh tahun yang lalu, semua itu
terjadi.
***
Melihat
Roni, aku seperti melihat Aco, adikku. Duduk di teras depan rumah, aku
seakan melihat Aco sedang bermain-main di hadapanku. Dan si Manis, juga
mengingatkanku pada kucing kesayangannya. Aco dan si Manis seperti
terlahir kembali. Ya, aku melihatnya pada sosok Roni dan si Manis,
kucing kesayangannya. Tapi benarkah? Yang pasti, saat melihat Roni, aku
seakan melihat adikku, sepuluh tahun yang lalu.
Mungkinkah
keduanya terlahir kembali dan menjelma pada sosok Roni dan kucing
kesayanganya? Dan, akhh… mungkinkah kejadian sepuluh tahun yang lalu
itu, juga akan terjadi pada anakku dan si Manis. Seketika aku tersentak.
Ketakutan dengan cepat menjalari kesadaranku. Bulu kudukku meremang dan
tubuhku seketika menggigil.
“Aku harus memisahkan keduanya!!!” (Oke)
Makassar, 12 Januari- 14 April 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar