Aku
telah lama kehilangan ayah. Seperti asap yang ditiup angin, ayahku
melayang dan hilang di angkasa. Tak ada jejak. Dan aku juga tak perlu
lagi mencarinya. Akhirnya kuurungkan niatku untuk mencari jejaknya yang
memang tak jelas. Tentu aku juga tak berminat lagi. Mungkin kalau aku
berusaha mencarinya juga tak akan menemukan hasil yang baik yang
membuatku akan tenang. Jadi kuputuskan untuk tidak mencarinya.
Dan...
buat apa aku harus mencarinya? Toh aku tak membutuhkan ayah. Aku punya
ibu yang di telapak kakinya telah kutemukan sorga dengan bau melati yang
melenakan. Karena itu, sekali lagi aku tak butuh ayah. Mungkin kalau
aku bertemu ayah, aku hanya akan menemukan kerusakan parah di wajahnya.
Seperti tercabik-cabik binatang. Ato mungkin binatangnya malah dia
sendiri.... Aku memang tak pernah melihatnya. Maka lebih baik
kubayangkan saja binatang. Ha... ha... ha... ha... ha... ha.... Aku
kadang tertawa sendiri membayangkan wajah ayah; mungkin juga berekor panjang.
Dan
satu lagi, baunya pasti juga tidak seharum telapak kaki ibu. Seluruh
aroma neraka, seperti yang diajarkan guru agama di sekolahku, mungkin
akan tersebar dari bau mulutnya jika ayah menyeringai. Malah aku curiga,
jika ayah datang, ia hanya akan memudarkan bau melati di kaki ibu. Atau
malah membawa kaki ibu dan membuangnya ke sungai, menghayutkannya ke
laut; tentunya akan sangat sulit lagi kutemukan.
Ahh,
aku tak mau.... Jadi tak perlu kucari ayah. Buang-buang waktu dan
tenaga saja. Mata ayah juga pasti seperti singa –binatang yang sempat
kulihat di kebun binatang bersama teman-teman sekolah--, yang lapar dan
ganas. Jalang... sekali lagi aku ngeri; jijik. Tak sanggup aku menatap
mata yang tak pernah memberikan ketenangan itu. Tak seperti sepasang
mata ibu yang teduh. Aku suka berumah di mata ibu. Ada sejuk yang
senantiasa kurasakan jika berada dalam selimut matanya.
Berumah
di mata ibu adalah impianku sejak kecil, meski aku juga sering membuat
mata itu mengalirkan air beningnya. Karenanya, aku bersumpah tak akan
pernah lagi membuat sepasang mata teduh itu mengeluarkan air mata hanya
untuk sesuatu yang tak menyenangkan, apalagi yang diperbuat olehku.
Tidak... tidak! Sekali lagi tidak...! Aku akan menjaga sepasang mata ibu
dari tangis yang akan menggoyahkan ketegarannya.
Kadang
jika sendiri, aku lebih memilih membayangkan ibu atau memeluknya. Aroma
tubuhnya yang kokoh sering membuatku harus berusaha meredam tangis yang
tiba-tiba datang menerjang. Membayangkan ibu, seperti menemukan
surga-surga baru yang terus saja mengalirkan ketegaran-ketegaran baru
dalam diriku.
Suatu
hari kutemukan ibu ditelan riuh pasar; berbaur dengan sosok-sosok hitam
yang berseliweran. Aroma tubuhnya masih kutangkap dengan jelas. Begitu
pula bau kesturi dari mulutnya yang melantunkan nyanyian harapan.
Lalu... pasar, jalan-jalan rombeng dan becek kembali mengajarkan aku
tentang kekokohan sosok ibu.
Dan bersamaan dengan itu, kupaksakan mencemari mulutku dengan
sampah-sampah yang dengan garangnnya kusemburkan ke wajah ayah.
Ha...ha...ha...ha...ha.... Aku kembali terbahak menyaksikan wajah ayah
yang penuh sampah yang tersembur dari mulutku. Kulihat ia menyeka
wajahnya yang berkarat dengan kedua tangannya yang gemetar.
Akhh... apa peduliku. Aku toh tak butuh ayah. Ia hanya menjadi bagian
yang terburuk dalam hidupku. Jadi kalau ia mau marah... yaaaa, marah
saja. Sudah lama pula kuhapus rasa takut terhadapnya dalam diriku. Toh
aku benar-benar tak membutuhkannya. Aku sudah punya ibu. Sosok yang
mengajariku ketabahan. Sosok yang dengan kedua tangannya yang kian
mengeriput, membangunkan aku rumah di surga. Menghiasinya dengan
ketulusan doa-doa yang disulamnya di setiap sepertiga malam. Dan
tentunya aku juga harus menjaga rumah itu. Semoga aku mampu....
***
“Bu,
apa masih perlu aku mengeja ayah, setelah sekian lama ia
memporak-porandakan kebahagiaan ibu?” tanyaku suatu hari dengan suara
agak tinggi karena kesal. Meski aku segera mendekapnya, sebagai tanda
kekhilafanku.
“Nak, bukankah persemaian itu hanya terjadi karena benih-benih cinta kami?”
“Cinta? Cinta apa yang diharap dari lelaki seperti dia?” aku membatin. Lama aku terdiam. Batinku; badai menderu....
Tapi
aku merasa benar-benar tak butuh ayah. Buat apa aku mengotori mulutku
dengan menyebut namanya. Toh nama itu telah lama kukubur dalam-dalam dan
sebagian lagi kulemparkan ke tepi langit. Aku juga tak pernah meminta
lahir dari benihnya. Bukankah masih banyak benih dari laki-laki yang
lebih baik. Seandainya batu bisa menjadi ayah, aku lebih memilih
memanggil ayah pada batu.
Kulihat ibu hanya terdiam. Musik angin mulai terdengar berdenting,
karena kami tak lagi sempat mengeluarkan kata-kata.
“Sudahlah, Bu,” dengan berat aku memecah kebisuan. “Aku tak ingin
karena ayah, ibu harus kembali meruntuhkan bangunan yang selama ini kita
bangun. Aku tak ingin semuanya porak-poranda dan menjadi sia-sia.”
Suaraku tak lagi ingin kutinggikan. Kata-kataku kukeluarkan dengan
sangat hati-hati.
Ibu
kembali menatapku. Cukup lama. Yang kutangkap dari pandangannya hanya
garis-garis kesediahan. Meski berusaha kusingkap, tapi tatapan itu hanya
memancarkan kepiluan. Hingga aku tak tahan dan segera membuang
pandanganku ke arah dinding kamar yang mulai ditumbuhi lumut. Jaring
laba-laba yang semula hanya memenjara setiap sudut kamar, kulihat telah
mulai menjaring hampir seluruh langit-langit kamarku.
Puiih! Tiba-tiba dendamku kembali berdarah. Tatapanku mulai nanar
menusuk setiap pori-pori kamar yang mungkin bingung memahami
kemarahanku. Nafasku membadai.
Ibu hanya terdiam. Matanya tetap saja seperti semula. Dingin dan sunyi.
Meski aku tahu, ia benar-benar merasakan dan memahami badai nafasku.
“Anakku, keterpisahan bukan berarti semakin suburnya kebencian. Bisa
saja juga berarti benih-benih kerinduan mulai tumbuh.”
“Tapi
keterpisahan macam apa yang kita alami? Mungkinkah keterpisahan macam
itu akan menumbuhkan benih-benih kerinduan?” Aku kembali menenangkan
perasaan, berusaha tidak mengusik kesunyian matanya. Meski aku tahu,
perih itu bagai badai yang terus menderu.
Puaahh!
Ayah... buat apa merindukan lelaki macam itu. Lelaki dengan tumpukan
sampah di mulutnya. Lelaki yang tak pernah mau tahu, bahwa hidup bukan
hanya punya ketabahan, tapi juga amarah.
Dulu
aku memang butuh ayah. Ya, itu dulu. Namanya saja dulu, ya dulu. Tapi
sekarang... tidaaak. Aku tak butuh ayah jika hanya ayah semacam dia.
Lebih baik sebongkah batu kujadikan ayah. Batu mungkin lebih baik dari
pada laki-laki itu. Laki-laki dengan sorot mata merah beraroma kuburan.
Dan
ibu. Tentu aku sangat mencintainya. Ya, aku menyayanginya lebih dari
segala mahluk yang diciptakan oleh Tuhan di muka bumi ini. Dengannya aku
merasa hidup ini begitu indah. Berbagai keindahan dunia kutemukan pada
diri ibu. Aku merasakan aroma surga bila bersamanya, mendekap tubuhnya
yang kian renta. Kebahagiaan macam apalagi yang harus aku cari. Ibu
adalah segala-galanya. Ia bisa melenakanku dalam dekapannya. Dan aku
suka itu. Aku suka aroma tubuhnya. Aroma yang telah mengajariku tentang
perjuangan hidup. Aroma yang telah mengajariku tentang ketabahan.
***
Aku
menemukan ibu dalam sebuah ruang yang gelap dan tandus. Hanya isaknya
yang pertama kukenal. Lalu air mata itu, begitu kukenali sebagai
perjumpaan keduaku. Aku tak pernah ingat lagi pada perjumpaan pertamaku
itu, apakah juga ada selarik senyum. Mungkin ada... tapi tidak... lebih
mungkin tak ada sejak kelahiranku.
Aku
memang mengenal ibu pada suatu hari yang gersang. Hanya air matanya
yang mampu membasahi kepolosanku. Aku tak mengenali apa-apa kecuali air
mata. Mata beningnya selalu membimbingku pada nurani. Meski aku tahu,
mata itu selalu terbasahi oleh penderitaan yang mengungkung.
Akh,
apalagi peduliku. Semua itu hanya masa lalu. Ya, masa lalu. Dan
sekarang aku hanya akan mengenali ibu dengan binar mata dan
keteduhannya. Ibu dengan senyum yang selalu meningkahi wajahnya yang
rindang. Ibu dengan bau surga di telapak kakinya. Kaki yang akan menjadi
tempatku bersimpuh dan memanjatkan doa-doa dengan penuh kekhusukan;
khidmat.
Dengan
mata bening ibu, aku tak perlu lagi membayangkan ada air mata yang
mengalirinya seperti dulu. Aku bahkan tak ingin mata itu mengalirkan air
mata penderitaan, apalagi air mata yang disebabkan oleh laki-laki yang
dari mulutnya hanya menyebar bau busuk.
***
Suatu
hari ibu memaksaku mengeja ayah dengan keikhlasan. Tapi tetap saja tak
bisa. Aku heran mengapa ibu terus memaksaku untuk mengeja nama ayah yang
selama kesadaranku sebagai manusia selalu saja tak pernah membuatku
senang, apalagi bahagia.
Aku hanya ingin selalu menemani ibu. Tapi tidak dengan harus mengeja
nama ayah. Tidak...!!! Sekali lagi tanpa harus mengeja ayah.
Tapi ibu masih tetap berharap dari mulutku akan meluncur nama ayah,
bahkan dengan artikulasi yang jelas. Padahal nama itu telah lama
berkarat di ujung lidahku.
Tapi sudahlah. Aku harus memcobanya. Demi ibu. Ya, demi ibu; semoga saja ibu mengerti keadaanku.
Tapi tetap saja tak bisa. Mengeja nama ayah seperti memaksaku mengunyah
bara api. Lidahku seketika saja meleleh dan tak mampu digerakkan untuk
memperbaiki artikulasiku. Namanya memang begitu asing di lidahku.
Mungkin seperti makanan basi berulat yang dipaksakan untuk memakannya; muntah.
Mengeja nama ayah bahkan lebih sulit dari mengeja nama-nama binatang.
Maka, aku lebih memilih mengeja semua nama binatang yang ada dalam kamus
binatang berulang-ulang, dari pada harus mengeja nama ayah, meski hanya
sekali. Ya, nama binatang sepertinya lebih mudah dieja; diucapkan....
“Nak, apakah sosok ayah tak pernah lagi terlintas dalam benakmu?” tanyanya di hari yang lain; hari dimana aku mengalami keterkejutan yang teramat sangat; hari dimana aku benar-benar tak mampu berbuat apa-apa; hari dimana segala kemarahanku mengering....
“Bu,
ini bukan persoalan terlintas atau tidak. Tapi ini masalah, apakah
batinku sanggup atau tidak. Aku sudah lama tidak berselera dengan
namanya. ...biar kupaksakan mencobanya. Ini demi ibu. Ya, aku
akan melakukannya hanya demi ibu. Namun, jangan paksa aku untuk
menyentuhnya, apalagi mendekapnya. Tidak ibu... tidak...!!!”
Aku
memang tak pernah lagi berniat memiliki seorang ayah. Aku tak pernah
lagi merasa iri melihat anak-anak seusiaku berjalan dengan ayahnya dan
membuatku muak ketika mereka memuji-muji ayah mereka. Akhhh, persetan
semuanya. Apalagi aku harus merengek-rengek agar ada seseorang yang mau
mengaku ayah dan rela kupanggil ayah.
Puihhh!!!
Tidak akan. Aku tidak akan melakukan semua itu hanya untuk seorang
lelaki pengecut yang seharusnya kupanggil ayah. Aku tidak akan melakukan
perbuatan yang kuanggap sia-sia itu. Apalagi hanya untuk mendapatkan
seorang laki-laki yang cuma akan membuat kehidupanku semakin kering
kerontang.
Aku
sudah punya ibu. Dengan kebeningan sepasang bola matanya dan keteduhan
wajahnya, aku begitu betah menciumi aroma surga dari telapak kakinya;
dari ketabahannya; dari doa-doanya; ... dari seluruh kesemestannya.
Ibu... ibu..., berhentilah
memaksaku mengeja ayah! Berhentilah, Bu! Aku tak butuh ayah seperti
dia. Dan jangan pula ibu berusaha masukkan wajah ayah dalam otakku. Biar
aku yang merancang sendiri wajahnya. Dan jangan salahkan aku, jika
wajah yang kurancang adalah wajah-wajah binatang-binatang yang pernah
kulihat di kebun binatang.
Dan, tiba-tiba aku tersentak. Di dalam sepasang mata ibu, suatu senja,
--saat ia melelapkannku-- wajah ayah yang kurancang dengan penuh
kemarahan, kutemukan tergolek di atas meja yang dipenuhi tumpukan botol
minuman yang berserakan; sebuah diskotik beraroma darah. Kulihat pula
wajah ayah di kantor-kantor megah yang menjulang; dan... astaga, semoga aku tak salah lihat... aku juga menemukan wajah ayah berserakan di gereja-gereja, biara-biara, klenteng-klenteng, pura, mesjid-mesjid....
Aku benar-benar ingin membunuhnya!!!
Makassar, 17 Juli 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar