Jumat, 31 Oktober 2014

Sepasang Mata Ibu

Aku telah lama kehilangan ayah. Seperti asap yang ditiup angin, ayahku melayang dan hilang di angkasa. Tak ada jejak. Dan aku juga tak perlu lagi mencarinya. Akhirnya kuurungkan niatku untuk mencari jejaknya yang memang tak jelas. Tentu aku juga tak berminat lagi. Mungkin kalau aku berusaha mencarinya juga tak akan menemukan hasil yang baik yang membuatku akan tenang. Jadi kuputuskan untuk tidak mencarinya. 
 
Dan... buat apa aku harus mencarinya? Toh aku tak membutuhkan ayah. Aku punya ibu yang di telapak kakinya telah kutemukan sorga dengan bau melati yang melenakan. Karena itu, sekali lagi aku tak butuh ayah. Mungkin kalau aku bertemu ayah, aku hanya akan menemukan kerusakan parah di wajahnya. Seperti tercabik-cabik binatang. Ato mungkin binatangnya malah dia sendiri.... Aku memang tak pernah melihatnya. Maka lebih baik kubayangkan saja binatang. Ha... ha... ha... ha... ha... ha.... Aku kadang tertawa sendiri membayangkan wajah ayah; mungkin juga berekor panjang
 
Dan satu lagi, baunya pasti juga tidak seharum telapak kaki ibu. Seluruh aroma neraka, seperti yang diajarkan guru agama di sekolahku, mungkin akan tersebar dari bau mulutnya jika ayah menyeringai. Malah aku curiga, jika ayah datang, ia hanya akan memudarkan bau melati di kaki ibu. Atau malah membawa kaki ibu dan membuangnya ke sungai, menghayutkannya ke laut; tentunya akan sangat sulit lagi kutemukan. 
 
Ahh, aku tak mau.... Jadi tak perlu kucari ayah. Buang-buang waktu dan tenaga saja. Mata ayah juga pasti seperti singa –binatang yang sempat kulihat di kebun binatang bersama teman-teman sekolah--, yang lapar dan ganas. Jalang... sekali lagi aku ngeri; jijik. Tak sanggup aku menatap mata yang tak pernah memberikan ketenangan itu. Tak seperti sepasang mata ibu yang teduh. Aku suka berumah di mata ibu. Ada sejuk yang senantiasa kurasakan jika berada dalam selimut matanya. 
 
Berumah di mata ibu adalah impianku sejak kecil, meski aku juga sering membuat mata itu mengalirkan air beningnya. Karenanya, aku bersumpah tak akan pernah lagi membuat sepasang mata teduh itu mengeluarkan air mata hanya untuk sesuatu yang tak menyenangkan, apalagi yang diperbuat olehku. Tidak... tidak! Sekali lagi tidak...! Aku akan menjaga sepasang mata ibu dari tangis yang akan menggoyahkan ketegarannya. 
 
Kadang jika sendiri, aku lebih memilih membayangkan ibu atau memeluknya. Aroma tubuhnya yang kokoh sering membuatku harus berusaha meredam tangis yang tiba-tiba datang menerjang. Membayangkan ibu, seperti menemukan surga-surga baru yang terus saja mengalirkan ketegaran-ketegaran baru dalam diriku. 
 
Suatu hari kutemukan ibu ditelan riuh pasar; berbaur dengan sosok-sosok hitam yang berseliweran. Aroma tubuhnya masih kutangkap dengan jelas. Begitu pula bau kesturi dari mulutnya yang melantunkan nyanyian harapan. Lalu... pasar, jalan-jalan rombeng dan becek kembali mengajarkan aku tentang kekokohan sosok ibu. 
 
Dan bersamaan dengan itu, kupaksakan mencemari mulutku dengan sampah-sampah yang dengan garangnnya kusemburkan ke wajah ayah. Ha...ha...ha...ha...ha.... Aku kembali terbahak menyaksikan wajah ayah yang penuh sampah yang tersembur dari mulutku. Kulihat ia menyeka wajahnya yang berkarat dengan kedua tangannya yang gemetar. 
 
Akhh... apa peduliku. Aku toh tak butuh ayah. Ia hanya menjadi bagian yang terburuk dalam hidupku. Jadi kalau ia mau marah... yaaaa, marah saja. Sudah lama pula kuhapus rasa takut terhadapnya dalam diriku. Toh aku benar-benar tak membutuhkannya. Aku sudah punya ibu. Sosok yang mengajariku ketabahan. Sosok yang dengan kedua tangannya yang kian mengeriput, membangunkan aku rumah di surga. Menghiasinya dengan ketulusan doa-doa yang disulamnya di setiap sepertiga malam. Dan tentunya aku juga harus menjaga rumah itu. Semoga aku mampu....

***
 
“Bu, apa masih perlu aku mengeja ayah, setelah sekian lama ia memporak-porandakan kebahagiaan ibu?” tanyaku suatu hari dengan suara agak tinggi karena kesal. Meski aku segera mendekapnya, sebagai tanda kekhilafanku. 
 
“Nak, bukankah persemaian itu hanya terjadi karena benih-benih cinta kami?”
 
“Cinta? Cinta apa yang diharap dari lelaki seperti dia?” aku membatin. Lama aku terdiam. Batinku; badai menderu.... 
 
Tapi aku merasa benar-benar tak butuh ayah. Buat apa aku mengotori mulutku dengan menyebut namanya. Toh nama itu telah lama kukubur dalam-dalam dan sebagian lagi kulemparkan ke tepi langit. Aku juga tak pernah meminta lahir dari benihnya. Bukankah masih banyak benih dari laki-laki yang lebih baik. Seandainya batu bisa menjadi ayah, aku lebih memilih memanggil ayah pada batu. 
 
Kulihat ibu hanya terdiam. Musik angin mulai terdengar berdenting, karena kami tak lagi sempat mengeluarkan kata-kata. 
 
“Sudahlah, Bu,” dengan berat aku memecah kebisuan. “Aku tak ingin karena ayah, ibu harus kembali meruntuhkan bangunan yang selama ini kita bangun. Aku tak ingin semuanya porak-poranda dan menjadi sia-sia.” Suaraku tak lagi ingin kutinggikan. Kata-kataku kukeluarkan dengan sangat hati-hati. 
 
Ibu kembali menatapku. Cukup lama. Yang kutangkap dari pandangannya hanya garis-garis kesediahan. Meski berusaha kusingkap, tapi tatapan itu hanya memancarkan kepiluan. Hingga aku tak tahan dan segera membuang pandanganku ke arah dinding kamar yang mulai ditumbuhi lumut. Jaring laba-laba yang semula hanya memenjara setiap sudut kamar, kulihat telah mulai menjaring hampir seluruh langit-langit kamarku. 
 
Puiih! Tiba-tiba dendamku kembali berdarah. Tatapanku mulai nanar menusuk setiap pori-pori kamar yang mungkin bingung memahami kemarahanku. Nafasku membadai. 
 
Ibu hanya terdiam. Matanya tetap saja seperti semula. Dingin dan sunyi. Meski aku tahu, ia benar-benar merasakan dan memahami badai nafasku. 
 
“Anakku, keterpisahan bukan berarti semakin suburnya kebencian. Bisa saja juga berarti benih-benih kerinduan mulai tumbuh.” 
 
“Tapi keterpisahan macam apa yang kita alami? Mungkinkah keterpisahan macam itu akan menumbuhkan benih-benih kerinduan?” Aku kembali menenangkan perasaan, berusaha tidak mengusik kesunyian matanya. Meski aku tahu, perih itu bagai badai yang terus menderu. 
 
Puaahh! Ayah... buat apa merindukan lelaki macam itu. Lelaki dengan tumpukan sampah di mulutnya. Lelaki yang tak pernah mau tahu, bahwa hidup bukan hanya punya ketabahan, tapi juga amarah. 
 
Dulu aku memang butuh ayah. Ya, itu dulu. Namanya saja dulu, ya dulu. Tapi sekarang... tidaaak. Aku tak butuh ayah jika hanya ayah semacam dia. Lebih baik sebongkah batu kujadikan ayah. Batu mungkin lebih baik dari pada laki-laki itu. Laki-laki dengan sorot mata merah beraroma kuburan. 
 
Dan ibu. Tentu aku sangat mencintainya. Ya, aku menyayanginya lebih dari segala mahluk yang diciptakan oleh Tuhan di muka bumi ini. Dengannya aku merasa hidup ini begitu indah. Berbagai keindahan dunia kutemukan pada diri ibu. Aku merasakan aroma surga bila bersamanya, mendekap tubuhnya yang kian renta. Kebahagiaan macam apalagi yang harus aku cari. Ibu adalah segala-galanya. Ia bisa melenakanku dalam dekapannya. Dan aku suka itu. Aku suka aroma tubuhnya. Aroma yang telah mengajariku tentang perjuangan hidup. Aroma yang telah mengajariku tentang ketabahan.
 
***
 
Aku menemukan ibu dalam sebuah ruang yang gelap dan tandus. Hanya isaknya yang pertama kukenal. Lalu air mata itu, begitu kukenali sebagai perjumpaan keduaku. Aku tak pernah ingat lagi pada perjumpaan pertamaku itu, apakah juga ada selarik senyum. Mungkin ada... tapi tidak... lebih mungkin tak ada sejak kelahiranku. 
 
Aku memang mengenal ibu pada suatu hari yang gersang. Hanya air matanya yang mampu membasahi kepolosanku. Aku tak mengenali apa-apa kecuali air mata. Mata beningnya selalu membimbingku pada nurani. Meski aku tahu, mata itu selalu terbasahi oleh penderitaan yang mengungkung. 
 
Akh, apalagi peduliku. Semua itu hanya masa lalu. Ya, masa lalu. Dan sekarang aku hanya akan mengenali ibu dengan binar mata dan keteduhannya. Ibu dengan senyum yang selalu meningkahi wajahnya yang rindang. Ibu dengan bau surga di telapak kakinya. Kaki yang akan menjadi tempatku bersimpuh dan memanjatkan doa-doa dengan penuh kekhusukan; khidmat. 
 
Dengan mata bening ibu, aku tak perlu lagi membayangkan ada air mata yang mengalirinya seperti dulu. Aku bahkan tak ingin mata itu mengalirkan air mata penderitaan, apalagi air mata yang disebabkan oleh laki-laki yang dari mulutnya hanya menyebar bau busuk.

***
 
Suatu hari ibu memaksaku mengeja ayah dengan keikhlasan. Tapi tetap saja tak bisa. Aku heran mengapa ibu terus memaksaku untuk mengeja nama ayah yang selama kesadaranku sebagai manusia selalu saja tak pernah membuatku senang, apalagi bahagia. 
 
Aku hanya ingin selalu menemani ibu. Tapi tidak dengan harus mengeja nama ayah. Tidak...!!! Sekali lagi tanpa harus mengeja ayah. 
 
Tapi ibu masih tetap berharap dari mulutku akan meluncur nama ayah, bahkan dengan artikulasi yang jelas. Padahal nama itu telah lama berkarat di ujung lidahku. 
 
Tapi sudahlah. Aku harus memcobanya. Demi ibu. Ya, demi ibu; semoga saja ibu mengerti keadaanku
 
Tapi tetap saja tak bisa. Mengeja nama ayah seperti memaksaku mengunyah bara api. Lidahku seketika saja meleleh dan tak mampu digerakkan untuk memperbaiki artikulasiku. Namanya memang begitu asing di lidahku. Mungkin seperti makanan basi berulat yang dipaksakan untuk memakannya; muntah
 
Mengeja nama ayah bahkan lebih sulit dari mengeja nama-nama binatang. Maka, aku lebih memilih mengeja semua nama binatang yang ada dalam kamus binatang berulang-ulang, dari pada harus mengeja nama ayah, meski hanya sekali. Ya, nama binatang sepertinya lebih mudah dieja; diucapkan.... 
 
“Nak, apakah sosok ayah tak pernah lagi terlintas dalam benakmu?” tanyanya di hari yang lain; hari dimana aku mengalami keterkejutan yang teramat sangat; hari dimana aku benar-benar tak mampu berbuat apa-apa; hari dimana segala kemarahanku mengering....
 
“Bu, ini bukan persoalan terlintas atau tidak. Tapi ini masalah, apakah batinku sanggup atau tidak. Aku sudah lama tidak berselera dengan namanya. ...biar kupaksakan mencobanya. Ini demi ibu. Ya, aku akan melakukannya hanya demi ibu. Namun, jangan paksa aku untuk menyentuhnya, apalagi mendekapnya. Tidak ibu... tidak...!!!” 
 
Aku memang tak pernah lagi berniat memiliki seorang ayah. Aku tak pernah lagi merasa iri melihat anak-anak seusiaku berjalan dengan ayahnya dan membuatku muak ketika mereka memuji-muji ayah mereka. Akhhh, persetan semuanya. Apalagi aku harus merengek-rengek agar ada seseorang yang mau mengaku ayah dan rela kupanggil ayah. 
 
Puihhh!!! Tidak akan. Aku tidak akan melakukan semua itu hanya untuk seorang lelaki pengecut yang seharusnya kupanggil ayah. Aku tidak akan melakukan perbuatan yang kuanggap sia-sia itu. Apalagi hanya untuk mendapatkan seorang laki-laki yang cuma akan membuat kehidupanku semakin kering kerontang. 
 
Aku sudah punya ibu. Dengan kebeningan sepasang bola matanya dan keteduhan wajahnya, aku begitu betah menciumi aroma surga dari telapak kakinya; dari ketabahannya; dari doa-doanya; ... dari seluruh kesemestannya. 
 
Ibu... ibu..., berhentilah memaksaku mengeja ayah! Berhentilah, Bu! Aku tak butuh ayah seperti dia. Dan jangan pula ibu berusaha masukkan wajah ayah dalam otakku. Biar aku yang merancang sendiri wajahnya. Dan jangan salahkan aku, jika wajah yang kurancang adalah wajah-wajah binatang-binatang yang pernah kulihat di kebun binatang.
 
Dan, tiba-tiba aku tersentak. Di dalam sepasang mata ibu, suatu senja, --saat ia melelapkannku-- wajah ayah yang kurancang dengan penuh kemarahan, kutemukan tergolek di atas meja yang dipenuhi tumpukan botol minuman yang berserakan; sebuah diskotik beraroma darah. Kulihat pula wajah ayah di kantor-kantor megah yang menjulang; dan... astaga, semoga aku tak salah lihat... aku juga menemukan wajah ayah berserakan di gereja-gereja, biara-biara, klenteng-klenteng, pura, mesjid-mesjid....
 
Aku benar-benar ingin membunuhnya!!!

Makassar, 17 Juli 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar