Perempuan
itu lemas tersungkur. Ia telah kehilangan dompetnya di pelabuhan
Tanjung Priok, saat turun dari kapal yang membawanya dari kota Makassar.
Seorang lelaki yang pura-pura membantunya, ketika hampir terjatuh
akibat kelelahan dan perutnya yang semakin membesar, telah mengambil
dompet itu dari dalam tas kumal yang ditentengnya. Seketika ia merasa
kehilangan kehidupannya. Semua yang ia harapkan sebagai bekal saat
berada di Jakarta telah melayang begitu saja tanpa jejak. Ia bahkan tak
sempat mengingat lagi wajah orang yang menolongnya.
Perlahan
perempuan itu bangkit. Dengan langkah yang terseok menopang badai di
perutnya yang membesar dan dengan dandanan perempuan kampung yang
kumuh, ia menghampiri seorang petugas pelabuhan untuk melaporkan
kehilangan yang baru saja dialaminya. Wajahnya miris ketika menatap sang
petugas yang berdiri bak patung angkuh menatap kekalahan dan kemiskinan
yang berdiri di hadapannya. Kakinya gemetar dan tubuhnya semakin lemas
tatkala sang petugas membekukan wajahnya. Terlebih ketika ia dihardik
seperti anjing yang akan mencuri tulang dari sang majikan yang tak
mengizinkan.
Tiba-tiba
ia merasakan awan gelap menyusup ke dalam otaknya. Perempuan itu makin
kehilangan harapan. Uang, emas dan beberapa alamat yang berada di dalam
dompetnya semua telah hilang. Ia tidak tahu lagi ke mana mesti
melangkah. Jakarta dirasakannya sebagai dunia yang begitu luas dan kejam
yang siap mencengkram keluguannya.
Ia
pun pasrah dan melangkah gontai di antara kendaraan yang banyak
terparkir di sekitar pelabuhan. Berjalan di bawah sinar matahari yang
membakar kulit, di antara gedung-gedung pencakar langit dan keangkuhan
kendaraan yang lalu-lalang seperti tak kenal henti, dirasakannya seolah
menyusuri jejak-jejak di padang pasir yang maha luas. Hingga akhirnya
perempuan itu hinggap pada malam yang membekukan. Lampu-lampu Jakarta
masih setia menemani malam. Kelelahan seakan telah melepaskan satu per
satu tulang-tulang dari tubuhnya.
Beberapa
kali perempuan itu mencoba menggelar tikar pandan yang dibawanya di
emperan-emperan toko yang dianggapnya dapat melindungi tubuhnya dari
hujan yang mungkin saja tiba-tiba turun atau angin yang mungkin saja
dapat membekukannya. Namun hanya pengusiran dan kata-kata kotor yang
selalu mengalir dari bibir orang-orang yang tidak menghendaki emperan
tokonya digunakan untuk merebahkan tubuhnya yang semakin penat, yang
diterimanya. Atau cacian dan bentakan yang keluar dari mulut satpam yang
mendapat tugas mengamankan toko majikannya. Dan mungkin juga sekaligus
bertugas mengusir dan mencaci-maki orang-orang yang ingin numpang tidur
di emperan toko majikannya. Makian itu dirasakannya seolah
mencabik-cabik gendang telinganya; harga dirinya; kemanusiaannya.
Perempuan
itu tertegun, tak disangka di bulan Ramadhan ini masih banyak orang
yang tidak memiliki rasa kasihan sedikit pun menyaksikan penderitaan
orang lain. Ataukah memang dirinya yang di bulan penuh berkah ini, harus
menanggung penderitaan akibat perbuatannya sendiri melakukan
persekutuan syetan, membantu lelaki yang kini dicarinya menanam badai di
perutnya.
Gemetar
tubuh perempuan itu kian mengguncang kesadarannya akan awal sebuah
ketersiksaan yang akan ia hadapi di kota metropolitan ini. Dan
kesadarannya ini pulalah yang telah membawanya nekat mencari kakak dan
penanam badai diperutnya, di kota yang hampir tak memiliki lagi
keramahan.
Ya,
Jakarta dirasakannya sebagai sebuah dunia yang di dalamnya hampir tak
ada lagi kehidupan yang pernah ia rasakan di desa kelahirannya. Kecuali
manusia yang masih berbicara dan tersenyum, meski mungkin tak setulus
orang-orang di desanya. Banyak yang begitu aneh di matanya. Ia seperti
berada di alam lain.
Namanya
Rani. Tubuhnya berbalut kain kusam berwarna dasar hijau tua dengan
motif kembang. Dengan modal Rp. 300.000, beberapa potong pakaian, plus
perhiasan kalung 2 gram dan makanan kecil untuk berbuka puasa, serta
foto kakaknya, ia meninggalkan kampung halaman mencari orang yang selama
ini menghidupi keluarganya. Dan kalau bisa, menemukan lelaki yang
sepantasnya kini menjadi suami dan bapak dari sosok yang berada di
dalam tubuhnya. Ia memang telah terjerat badai yang di tanam begitu
lembut, meski sedikit tergesa-gesa, di rahimnya yang masih lugu.
Dengan sisa-sisa tenaga, Rani terus saja berjalan mencari tempat di emperan toko, dengan
harapkan pemiliknya memiliki setitik rasa kasihan untuk membiarkannya
merebahkan tubuhnya yang dirasakannya semakin lemah. Ia memang harus
mengumpulkan tenaga untuk menghadapi tantangan hari esok.
Kini,
Rani tak memiliki lagi barang-barang yang berharga yang harus dijual
untuk menyambung hidup, atau bahkan untuk kembali ke kampung. Bahkan
emas 2 gram yang dibawa dan diselipkan di dalam dompetnya untuk
berjaga-jaga jika saja uangnya habis juga ikut raib. Semua telah habis.
Keluarga tak ada. Harapan satu-satunya jika beruntung hanya kakaknya
yang kini tinggal di Jakarta. Atau jika sudi, mungkin lelaki yang telah
menanam badai di perutnya juga dapat membantunya. Setidaknya begitulah
harapannya. Ia memang tidak terlalu berharap banyak pada lelaki yang
telah meninggalkannya, setelah tahu bahwa di perutnya kini ada sesuatu
yang tumbuh. Sesuatu yang kini ia harus bawa ke mana pun melangkah.
Setelah
berjalan sekian lama bersama malam yang hampir berakhir, akhirnya ia
hinggap di bawah kolong jembatan. Beberapa pasang mata menatapnya penuh
tanda tanya. Perempuan itu tak perduli. Dengan leluasa dapat
membaringkan tubuh dan pikirannya yang kian penat.
Malam
dilaluinya dengan mimpi-mimpi yang menakutkan. Seseorang dengan wajah
kasar dan bengis tiba-tiba menindih tubuhnya. Ia meronta dan berteriak
sekeras-kerasnya. Namun, tak satu pun orang yang datang menolongnya.
Kesuciannya terenggut. Ia tak tahan dan mengambil sebilah pisau lalu
ditancapkan ke jantungnya. Nauzubillah.
***
Panggilan
sahur dari masjid-masjid yang mengiang-ngiang di telinga,
menggeliatkan tubuh Rani yang terasa masih lelah. Ia berusaha bangkit
dan menggerak-gerakkan tubuhnya perlahan. Tikar pandan yang digelarnya
semalam dibersihkan. Perlahan digulungnya dan dimasukkan ke dalam tas.
Dengan
wajah yang masih kusut, ia berjalan menuju masjid yang tidak terlalu
jauh dari tempatnya terbaring. Rambutnya yang panjang masih
dibiarkannya terurai dan menjuntai di bahunya. Sambil berjalan sesekali
ia membenahi bajunya yang kusut akibat tertindih sewaktu tertidur.
Saat
kakinya telah menginjak pelataran masjid, ia langsung menuju tempat
untuk mengambil air wudhu. Perlahan percikan-percikan air membasahi
wajahnya yang kusut dan kotor oleh debu dan asap knalpot kendaraan.
Butiran-butiran air itu terasa begitu segar saat merayapi seluruh
permukaan wajahnya. Sejak kemarin wajahnya tidak pernah tersentuh air.
Pikirannya saat itu memang begitu kalut.
Ditengadahkannnya
wajahnya ke langit yang masih nampak gelap. Di jalan raya orang-orang
mulai banyak yang lalu-lalang. Nampak beberapa perempuan masuk ke dalam
masjid membawa beberapa mangkuk besar berisi makanan. Beberapa lelaki
juga terlihat memasuki masjid.
“Mungkin
makanan untuk santap sahur para remaja masjid dan orang-orang yang
tidak mampu. Atau mungkin juga gelandangan seperti saya yang, anggaplah,
masih memiliki sedikit iman dan keinginan untuk berpuasa,” pikirnya.
“Sama seperti di desa.”
Angannya
seketika berada di sebuah desa terpencil. Teringat pada ibunya yang
sudah tua dan sakit-sakitan serta dua orang adiknya yang masih kecil.
Ayahnya telah lama meninggal. Dan sejak itu, ibunya yang mengambil alih
tanggung jawab keluarga untuk menghidupi kami. Saat itu usianya masih 14
tahun dan tak tamat SLTP karena ibunya tak mampu lagi membiayai.
Matanya
mulai sembab oleh air mata. Rasa sedih dan kasihan pada ibunya yang
harus mencangkul di sawah garapan milik tuan tanah di kota, menerjang.
Beruntung, setahun kemudian kakaknya diajak seseorang, yang juga masih
terbilang ada hubungan keluarga, untuk bekerja di Jakarta. Dan sejak
saat itu kehidupan mereka mulai membaik, meski ibunya masih
sakit-sakitan.
Perlahan
Rani mengelus-elus perutnya yang mulai membesar. Usia kandungannya
telah memasuki bulan ketiga. Saat berniat berangkat ke Jakarta ibunya
sangat melarang. Namun, ia tidak ingin aib yang dibawanya diketahui oleh
ibu dan warga desa. Ia tidak ingin mempermalukan keluarga, terlebih ibunya yang begitu menyayangi dan menaruh kepercayaan besar kepadanya. Malu rasanya jika semua orang tahu.
“Ah...!”
Rani mendesah perlahan. Terasa begitu berat penderitaan yang mesti
dirasakan. Namun, kesadarannya dibenturkan pada sebuah tanggung jawab
yang harus terimanya. Perbuatan itu telah menjeratnya ke dalam lubang
yang sangat dalam dan gelap.
Rani
kembali mendesah. Begitu berat. Di wajahnya masih nampak kekalutan dan
kelelahan yang membayang. “Hari ini puasa tinggal tiga hari lagi. Tak
terasa,” gumannya. Dibenahinya pakaian dan rambutnya yang masih kusut
dan perlahan melangkah menuju masjid.
“Aku harus puasa besok, meski terasa berat. Toh tak ada juga yang bisa aku makan, jika tak berpuasa.” Ia kembali mendesah.
Dan
setelah mengucapkan salam, ia berjalan memasuki masjid dan duduk di
antara orang-orang yang telah siap bersantap sahur. Beberapa wanita
setengah baya juga berada di antara mereka.
Tak
berapa lama Rani duduk sehabis santap sahur, azan subuh pun
berkumandang. Usai melaksanakan shalat subuh berjamaah, ia mengambil
al-Qur’an dan membacanya hingga matahari perlahan muncul di ufuk Timur.
***
Pagi
yang cerah. Sinar matahari belum lagi begitu beringas. Rani perlahan
keluar dari masjid dan duduk di terasnya. Dibukanya tas yang dibawa dan
menumpahkan seluruh isinya. Ia begitu terperanjat tatkala melihat foto
kakaknya yang terselip dibalik kertas. Tak disangkanya foto yang semula
dianggap telah raib bersama dompet masih berada di dalam tasnya. Entah
siapa yang telah memasukkan kertas-kertas ini, pikirnya. Rasa terkejut
itu semakin menyerang tatkala dibaliknya foto itu dan menemukan alamat
kakaknya tertulis jelas persis di tengah foto. Rani begitu gembira.
Seketika sebuah harapan membentang jelas.
“Aku harus menemukannya,” ucapnya lirih.
Rani
tergesa-gesa mengayungkan langkahnya menyusuri jalan-jalan berdebu.
Matahari mulai menyayat kulit. Di jalan-jalan yang dilalui, ia bertanya
kepada orang-orang yang ditemui. Namun, untuk menuju ke tempat yang
dituju, ia tak lagi memiliki uang. Dan untuk berjalan, ia tidak cukup
tenaga untuk membawa tubuh dan janin yang berada dirahimnya.
Namun,
Rani terus berusaha, hingga akhirnya tubuhnya terkulai di halaman
kantor polisi saat ia berniat masuk. Ia baru sadarkan diri saat azan
magrib berkumandang. Tubuhnya masih lemah. Rani berbaring dalam ruang
klinik kantor polisi, setelah sedikit memasukkan makanan ke dalam
perutnya untuk berbuka.
“Nama kamu siapa?” Seorang polisi yang mendapatinya siuman bertanya setelah memberikan minuman dan makanan kepadanya.
“Rani,
Pak.” Perempuan muda berusia hampir 17 tahun, berwajah cantik dan
berkulit kuning langsat itu menatap tajam lelaki yang berdiri di tepi
pembaringan. Dengan tubuh yang masih lemah ia mencoba bangkit dan duduk
bersandar di sisi ranjang. Setelah diminta, Rani menceritakan
perjalanannya hingga terdampar di kota Jakarta, sambil mengeluarkan
selembar foto kakaknya yang sedang ia cari.
“Bapak
mengenal foto ini atau paling tidak pernah melihatnya? Alamatnya juga
ada dibalik foto itu. Saya ingin ke sana tapi tidak punya uang. Sedang
untuk berjalan saya tidak sanggup.”
“Tidak. Kalau alamat ini saya tahu. Tapi ini...maaf, lokalisasi tempat wanita tuna susila.”
Tiba-tiba wajahnya menegang. Ia tak percaya. Ditatapnya wajah lelaki di hadapannya begitu tajam.
“Kalau tak percaya, sebentar saya antar ke sana.” Ia sadar kalau ucapannya tak dipercaya oleh gadis itu.
Saat
jam telah menunjukkan pukul 22.00, Polisi itu kemudian mengantar Rani
ke alamat yang tertulis di balik foto yang diberikan kepadanya. Malam
semakin pekat.
Ketika mereka sampai, seorang wanita
menghampirinya, “Anda mencari siapa?” Saat itu, mereka baru saja hendak
memasuki ruangan yang begitu ramai dengan suara musik dan tawa
orang-orang yang berada di dalam. Wanita-wanita yang berada di tempat
itu hampir semuanya berpakaian minim.
“Saya mencari seseorang. Namanya Leni.”
“Sudah hampir dua tahun saya bekerja di sini, namun belum pernah saya mendengar orang yang namanya Leni.”
“Ini fotonya.”
Sembari menyodorkan foto kakaknya, mata Rani menjelajah dan mencoba
menembus ke setiap sudut ruang yang remang-remang.
Wanita
itu mengamati foto yang diberikan kepadanya. ”Kalau ini saya kenal.
Tapi namanya bukan Leni. Namanya Reni. Ia juga sudah hampir dua tahun
kerja di tempat ini. Tapi sekarang ia tidak ada. Katanya, lagi ke luar
Jakarta bersama om Dani, pengusaha tekstil langganannya.”
Tiba-tiba
wajahnya membeku. Terasa tebal. Rani begitu malu. Ia tak menyangka
kakaknya, orang yang sangat dibanggakan keluarga dan warga desanya,
ternyata selama ini bekerja sebagai pelacur. Sebuah pekerjaan yang
sangat hina dalam pandangan orang di kampungnya.
“Ahhh...!”
Ia mendesah panjang. Tiba-tiba air matanya dirasakan ingin tumpah. Rani
tak tahan berada di tempat maksiat yang dianggapnya telah menjerumuskan
kakaknya itu. Diambilnya foto yang berada di tangan wanita yang berdiri
dihadapannya dan berlari ke luar. Tubuhnya terguncang menahan tangis.
Polisi
berpakaian preman yang mengantarnya, mengikuti dan mendekatinya
perlahan. “Kamu harus tabah. Beginilah kehidupan di Jakarta. Sulit.
Terlebih orang seperti kita. Sebaiknya kamu tinggal dulu di rumahku,
sampai kamu dapat bertemu kakakmu atau....” Ia tak mampu meneruskan
kalimatnya. Tatapan tajam Rani tiba-tiba menerjang matanya. Suasana
seketika hening di antara mereka. Hanya suara isak Rani yang sesekali
terdengar memilukan.
Selama
dua malam Rani tinggal di rumah Burhan, polisi yang baru dikenal dan
telah mengantarnya mencari kakaknya. Tapi ia tidak tahan. Sebab, selama
itu pula, setiap malam, Burhan selalu memasuki kamar dan menggerayangi
tubuhnya, saat istri dan dua orang anaknya tertidur pulas. Akhirnya,
Rani memberanikan diri meninggalkan rumah yang dirasakannya bagai neraka
itu.
Di
sebuah tempat, di bawah kolong jembatan, Rani duduk termenung.
“Mengapa nasibku harus seperti ini. Leni, aku tak menyangka kau mau
melakukan pekerjaan seperti itu. Sebenarnya aku ke Jakarta hanya ingin
bertanya tentang lelaki yang kau bawa setahun yang lalu itu. Lelaki yang
setelah kedatangan pertamanya, ia lalu sering berkunjung ke rumah dan
merayuku untuk menerima sesuatu yang kemudian tumbuh subur di rahimku.
Dan setelah tersesat di Jakarta, ternyata aku harus kembali bertemu
lelaki yang sama seperti yang kau bawa dulu. Ia pun ingin melakukan hal
yang sama. Ahhh...!”
Awan
gelap dirasakannya menyelinap ke dalam batin dan otaknya. Ia tak tahu
lagi harus berbuat apa. Semua harapannya musnah begitu saja. Lalu
bayang-bayang kematian tiba-tiba datang menerjang. Tubuh Rani seketika
gemetar. Dengan cepat ia mengambil sebilah pisau dan dengan garang
ditancapkan ke jantungnya. Darah seketika muncrat. Tak seorang pun yang
tahu. Menjelang lebaran, perempuan itu terkapar bersama badai di
perutnya. Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar. Lailahaillalahu Allahuakbar. Allahuakbar walillahilham.
Palopo-Makassar, Desember 99-02
Tidak ada komentar:
Posting Komentar