Kutemukan
perempuan itu terbaring lenguh di pojok kamar, di atas kasur empuk. Air
mata yang membasahi pipinya yang mulai keriput, mengalir membentuk
lekuk yang begitu sulit kumaknai. Ia menatapku sembari menarik kedua
ujung bibirnya membentuk selarik senyum.
Sejak
kusadari kehadirannya dalam hidupku, sangat sulit kusaksikan ia
tersenyum tanpa air mata yang menggenangi sudut matanya; menyerupai
bola-bola embun yang menempel di rumput-rumput. Hampir setiap hari,
ketika malam kian renta, ia terbangun dan melangkah ke luar kamar.
Ketukan pintu yang bunyinya lebih mirip dentuman meriam, karena diketuk
dengan penuh kemarahan, telah memaksanya untuk terbangun.
Lalu
lamat-lamat kudengar suara pintu terbuka diiringi bentakan seorang
lelaki yang sejak kusadari kehadirannya, membuat hari-hariku dihantui
ketakutan. Tidak begitu lama, dentingan benda-benda yang dilemparkan,
suara kelepak dan jeritan perempuan itu terdengar membahana di malam
yang pekat dan pahit. Kemudian, makian lelaki itu mengalir mengiringi
langkah kakinya yang diayun seperti kesetanan menuju kamar.
Aku
menarik nafas panjang. Di sampingku, bantal tempatnya membaringkan
kepenatan jiwanya masih tergolek. Ia kini berpindah ke dalam kamarnya
bersama lelaki yang di mulutnya dipenuhi ulat. Suara tangisnya lenguh
seperti tersumbat oleh bantal atau mungkin oleh sesuatu yang lain.
Entahlah, yang pasti lelaki itu tidak lagi mencaci. Ia malah kudengar
sesekali mendesah, lalu mengerang....
Suatu
hari yang lain, kulihat lelaki itu datang dalam keadaan sempoyongan,
mencaci: perempuan celaka; tak tahu diri; perempuan kotor; tak mampu
memberi keturunan dan masih banyak lagi makian yang terus menampar
ketegarannya. Dengan garang ia menjambak rambut perempuan itu, menampar
wajah dan memukuli tubuhnya. Dan sekali lagi, perempuan itu hanya
melolong, tersedu dan kemudian memaksa diri menarik segaris senyum saat
menatapku.
Aku
hanya menghela nafas. Tak ada perlawanan sedikitpun yang ia lakukan.
Mungkin berniat juga ia sudah tak mampu. Tapi itulah dia, perempuan
dengan ketegarannya sendiri, dengan pandangannya sendiri tentang sebuah
kesetiaan, pandangannya tentang sesuatu –yang setelah remaja- kusebut
sebagai ketololan seorang perempuan.
Semua
peristiwa itu berlalu dan memahat sebongkah kepribadian dalam diriku.
Aku lalu tumbuh hampir tanpa kasih sayang. Nyaris hari-hariku hanya
dihiasi dengan isaknya yang menyayat di antara cacian, desahan dan
erangan lelaki itu. Aku juga nyaris tak pernah bertemu muka dengan
lelaki itu, apalagi melihat wajahnya lengkap dengan detail-detail
guratan yang melintang di permukaannya. Dan jika pun terpaksa bertemu,
ia selalu memenjarakanku dalam taring-taringnya dan mengoyak tubuhku
dengan kukunya. Mulutnya yang bau comberan, sungguh liar memuntahkan
kata-kata yang menyakitkan: anak haram. Setelah itu, pukulan lantas
menimpa tubuhku yang masih mungil.
Sungguh,
saat itu aku benar-benar tak mengerti. Dan perempuan yang kini
kupanggil ibu itu hanya terisak. Wajahnya kulihat membeku. Garis-garis
ketuaan kian dalam terpahat. Matanya yang sesungguhnya bening nyaris
tertutup kabut. Tatapannya sayu, seolah tak ada kehidupan di sana,
seperti pagi itu.
Lelaki
berwajah batu itu kembali berlalu. Seperti pagi-pagi yang lain, ia
hanya meninggalkan makian; menyisakan pilu; berlalu bagai badai. Dan
setelah kepergiannya, perempuan itu menggendongku, membawaku ke kamar
mandi, membersihkan tubuh dan mengganti pakaianku.
Aku
terus tumbuh dan berkembang, menjalar dalam sebuah dunia yang kerap
membuatku meringkuk dalam kegamangan. Wajah kaku dan mulut berulat
lelaki itu membuatku sulit memotret gambaran dunia yang lebih ceria dan
renyah. Dan perempuan itu, hanya menatap pasrah, meski terhadapku ia
terus berusaha memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya.
Hari
terus berlalu, bulan dan tahun pun berlomba meninggalkan goresan dalam
hari-hariku. Dan aku kemudian memasuki dunia remaja, dunia yang
sebenarnya riang serta penuh dengan bunga-bunga mimpi dan harapan.
Namun, beginilah aku. Aku hanya dapat memintal keriangan itu dalam
anganku. Sebagai seorang perempuan yang mulai beranjak remaja, aku
begitu sulit menggapai harapan-harapan yang indah. Bayangan kata anak haram
yang sering keluar dari mulut lelaki itu, sungguh sering mengiang di
telingaku, merakit kerangkeng tersendiri bagi ketakutanku.
Lelaki
itu sungguh sulit menerima kehadiranku. Kepada setiap rekannya yang
datang ke rumah, jika tanpa sengaja aku melintas, aku hanya
diperkenalkan sebagai anak dari saudara perempuan itu. Setelah itu,
sorot matanya lantas menghujam jantungku, seperti memaksaku untuk segera
menyingkir. Dan perempuan itu, hanya terdiam, mengangguk dan membawaku
pergi. Kejadian seperti ini selalu terjadi sejak aku menyadari kehadiran
keduanya dalam hidupku. Sejak aku menyadari bahwa hidupku adalah
nyanyian sunyi dalam dunia yang retak dan gamang.
Karenanya,
aku pernah berpikir untuk jadi kupu-kupu, burung atau apa saja dan
terbang keluar dari peta tanah dalam nadiku yang telah koyak. Aku ingin
terbang melintasi negeri sunyi ini, negeri yang penuh angkara yang telah
membelengguku, yang membuatku nyaris hidup tanpa kasih sayang.
Ah,
rasanya aku hendak menjeritkan selaksa kesepianku yang panjang, yang
kerap membentuk genangan di lekuk mataku. Lelaki itu... perempuan itu...
telah mengajarkan aku tentang hidup. Ya, tentang hidup yang retak.
Sebuah kepolosan, kesetiaan, ketulusan sekaligus ketololan seorang
perempuan. Juga keberingasan, angkara dan muntahan ulat-ulat dari mulut
kotor seorang lelaki yang tak mampu menerima kenyataan.
Tapi,
sepertinya semua itu hanya tinggal khayalan. Sejumput pun kekuatan yang
kumiliki untuk melakukannya, tak ada. Perempuan itu, ya... perempuan
itu telah merenggut semuanya, bahkan anganku. Entah, aku begitu
mencintainya. Sorot matanya yang berkabut, senantiasa
memporak-porandakan pemberontakanku. Dan setelah kusadari, betapa pun
kukatakan bahwa perempuan itu juga telah mengajariku ketololan seorang
perempuan, namun aku tak mampu membencinya. Justru cintaku kian
membuncah, meski di rumah ini matahari seperti terbelah. Tahun-tahun
yang kulalui juga luka parah, menetesi hari-hari yang membawaku
menjalari kehidupan.
***
Semua
itu terjadi, ketika suatu hari yang panas, lelaki itu kembali datang
dengan kekejamannya yang lebih dari hari-hari sebelumnya. Mulutnya yang
dipenuhi ulat yang terus menyembur, saat itu juga telah mengeluarkan
kalajengking. Tangannya begitu ringan terayun ke tubuh perempuan itu,
juga ke tubuhku. Kami berdua benar-benar dalam jeruji taring-taringnya
yang ganas. Aku menjerit sekencang-kencangnya. Dan perempuan itu hanya
bersedu. Wajah dan tubuhnya memar. Di sudut bibirnya yang biasa
menyunggingkan senyum untukku, mengeluarkan darah.
Dengan
ganas pula, mulut iblisnya mengeluarkan ulat, kalajengking, tikus got,
bercampur lendir comberan yang bau. “Saat ini juga kau kuceraikan! Bawa
semua pakaianmu dan juga anak haram ini keluar dari rumah ini! Tak sudi
aku memelihara anak sialan ini. Aku tak tahan lagi, hidup dalam
gelisah.”
Suaranya
melengking, memporak-porandakan ketegaran perempuan itu. Tapi perempuan
itu, sekali lagi hanya terisak. Ombak yang menggila, pecah di bola
matanya. Ia mengambil pakaiannya dan pakaianku lalu melangkah tegar. Tak
ada sesal di raut wajahnya, meski tatapan mata itu tetap berkabut.
Apa
yang kusaksikan dan kualami hari itu, bagai sebuah drama pembantaian.
Dan aku, sejak peristiwa itu, begitu terkoyak. Ketersiksaan telah
membentuk segumpal dendam dalam hati. Aku hendak membumbung tinggi dan
hinggap di hati setiap laki-laki yang dingin bahkan membara sekalipun,
dan menari sembari melantunkan orkestra kepak sayap-sayapku yang beku,
lalu menghujam jantung mereka dengan belati.
Perempuan
itu lalu melangkah menyusuri hari-hari tanpa sempat lagi menghitung
usia. Yang ada dalam benaknya hanyalah bagaimana bertahan hidup dan
membiayai sekolahku. Maka, ia pun harus bekerja keras. Menjadi pencuci
pakaian di sebuah kompleks elit, menjual kue yang dijajakkan dari rumah
ke rumah, hingga dari took ke toko, dilaluinya tanpa mengeluh
sedikitpun.
Saat langganannya bertambah banyak, sesekali aku membantunya. Membuat kue di rumah yang kami
kontrak dari hasil kerja kerasnya dan sesekali mengantar langsung ke
toko-toko langganan. Hari-hari yang kami lalui sungguh bahagia. Kulihat
wajahnya kian cerah. Seperti ada gairah baru yang mendekapnya. Ketegaran
telah membuatnya penuh semangat dalam memandang hidup. Seperti tak ada
keburaman masa lalu yang pernah ia alami.
Tapi
dendam itu tentu tak begitu mudah sirna dari diriku. Dendamku malah
kian meruncing dan siap mengoyak-ngoyak masa lalu. Dengan modal
kecantikan dan kemolekan tubuh, aku terus terbang mengembara dan hinggap
di hati setiap lelaki yang mabuk denganku. Aku menari dan melantunkan
nyanyian kepedihan sambil menghunjamkan belatiku ke jantung mereka.
Mereka terkapar, meringis, dan meregang.
Kuambil kuping, kelamin, dan
bibir mereka lalu kumasukkan ke dalam celengan. Begitu juga dengan
bagian tubuh mereka yang lain. Aku ingin mengumpulkan potongan-potongan
tubuh mereka dan membentuknya menjadi lelaki itu, lantas kukubur
dalam-dalam. Ya, lelaki bermuka batu dengan ulat yang bersemburan dari
mulutnya.
* * *
Jika
ditanya tentang siapa perempuan yang paling berharga di dunia ini, maka
aku akan menjawab, dia adalah perempuan yang terbaring dalam lilin.
Perempuan itu telah mengajarkan aku tentang arti sebuah ketabahan,
kesetiaan, dan pengabdian pada seseorang yang dicintai. Sekaligus juga
mengajarkan aku, apa arti sebuah kelemahan seorang perempuan yang
kusebut sebagai sebuah ketololan.
Meski
kulihat wajahnya telah pupus, namun apinya masih tetap menyala
menerangi hari-hariku; berjuang membakar dirinya demi menantang
kegelapan. Selarik senyum yang ditarik dari kedua ujung bibirnya
senantiasa memupus goresan dendam dari jiwaku, sekaligus menanamkan
dendam baru. Sebab, di situ pulalah kulihat lelaki itu dengan wajah
garang datang menampar cahayanya.
Ah,
tapi tidak. Aku harus sadar bahwa hidup ini adalah serangkaian
aturan-aturan; sebuah perjodohan yang abadi. Bukankah perempuan itu
telah mengajarkan aku tentang ketabahan, kesetiaan dan pengabdian? Atau
mungkinkah itu cinta?
Maka,
ketika aku menyadari semuanya, aku tersentak saat menemukan seorang
lelaki yang membuatku tak kuasa menghunjamkan belatiku ke jantungnya.
Dan aku ternyata tak mampu berbuat apa-apa. Hanya mampu menyaksikan
rinai dengan kepak sayapku yang koyak dan ujung belatiku yang seketika
saja tumpul dan berkarat.
Di
sini, di dalam sebuah restauran yang kurasakan tiba-tiba lebih sepi
dari padang musim bisu, aku tak mampu lagi terbang dan hinggap pada
seorang lelaki yang kini duduk di hadapanku, terlebih harus
menghunjamkan belati ke jantungnya. Dan di malam yang dingin itu,
kudengar bunga-bunga yang tumbuh di taman restauran menjeritkan
hari-hari yang terluka. Sementara lelaki di hadapanku itu terus
bercerita. Aku tafakur mendengar percakapannya tentang aku. Ya, tentang
aku yang begitu ingin menikmati badainya.
Di
hadapanku, sepotong lilin menyala riang. Di dalamnya kulihat perempuan
yang telah kusebut ibu itu tergeletak. Wajahnya redup. Lamat-lamat.
Perempuan dalam lilin itu terus menyembulkan cahaya; terang... pupus...
terang... pupus.... Bayanganku pun digiring mengembara ke dalam
tahun-tahun purba.
“Aku ingin melamarmu,” kata lelaki itu tiba-tiba mengagetkanku seraya meraih jemariku dan menggenggamnya dengan lembut.
Kulihat
sorot matanya menancap deras di bola mataku. Seperti saat-saat yang
lalu, aku kembali tergeragap. Sungguh sangat berbeda ketika aku
berhadapan dengan lelaki lain. Dan seperti biasa, sekuat tenaga aku
kembali membenahi perasaanku yang kian galau. Terlalu sering aku
mendengar kalimat itu dari bibirnya. Tapi seperti hari-hari yang lalu,
aku hanya terdiam. Tak kuasa aku memberinya jawaban. Kalimat itu hanya
kubiarkan menguap di udara.
Tapi
kali ini lelaki itu tidak membiarkan kalimatnya kutanggapi dengan diam.
Ia terus memburuku, hingga aku tersudut. Dengan segala keberanian
kuceritakan sejarah buram kehidupan yang ingin kusingkirkan, terlebih
lelaki yang telah kejam menampar cahaya dari wajah perempuan itu;
perempuan yang kusebut ibu, yang telah mengajarkan aku tentang hidup.
Setelah
semuanya kuceritakan, lelaki itu hanya terdiam. Wajahnya merunduk,
menyorotkan matanya membentur lantai yang gelap. Lalu diam. Tak sepotong
pun kalimat yang meluncur dari bibirnya. Terlebih saat kutanya
kesanggupannya untuk tidak menjadi lelaki itu: lelaki yang telah
mengoyak masa laluku dan masa lalu perempuan yang kusebut ibu.
Tidak
berapa lama, lelaki yang duduk di hadapanku itu kembali mengangkat
wajahnya. Kulihat sorot matanya redup. Dan ah... di sana, di kedalaman
matanya, kutemukan lelaki itu. Ya, lelaki berwajah batu dengan ulat yang
menyembur dari mulutnya. Lelaki yang ingin kukubur dalam-dalam. Begitu
dalam. Dalam sekali.
“Ibu maafkan aku! Aku begitu membencinya!”
Makassar, 2005
Pedoman Rakyat, 9 April 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar