Semua
rencana itu disusun di atas meja makan. Sepuluh orang lelaki duduk
mengelilingi sebuah meja makan yang cukup besar. Di atasnya berjejer
piring dengan sendok, garpu dan pisau di samping. Semuanya tertata
begitu apik. Menu-menu makanan mewah yang terhidang begitu menggairahkan
dan membangkitkan selera makan. Terlebih bagi para pengemis atau gelandangan yang beberapa hari terpaksa harus menahan lapar.
Di
atas meja yang terbuat dari kayu hitam dengan hiasan antik buatan luar
negeri itu, terlukis sebuah pemandangan indah. Dua buah vas bunga turut
menghiasinya. Semuanya nampak bersih. Tak satu pun lalat yang berani
untuk hinggap di atasnya. Berniat pun, mungkin lalat-lalat sampai takut.
Mereka mungkin hanya mampu mengintip melalui jendela bening.
Sepuluh
orang lelaki telah bersiap menyantap makanan yang tersaji di depan
mereka. Sepuluh orang lelaki dengan pakaian yang rapi. Dasi menjuntai
indah dari leher hingga ke perut mereka yang rata-rata buncit. Wajah
mereka berseri. Senyum mereka kadang tersungging, bahkan disertai derai
tawa yang tak terkendali. Terbahak-bahak. Mereka terkadang mendehem.
Sepuluh
orang lelaki itu kemudian mengambil celemek yang tersedia di atas meja,
lalu meletakkan di atas paha dan juga menyelipkan di kerah baju mereka.
Hampir serempak masing-masing membalik piring, kemudian satu persatu mengambil nasi dan beberapa hidangan lainnya. Sendok, garpu dan pisau pun, satu demi satu mulai beraksi.
Semua rencana itu disusun di atas meja makan. Sepuluh orang lelaki mulai menyantap makanan. Sendok-sendok yang berisi makanan mulai memasuki mulut-mulut mereka. Gigi-gigi mereka
perlahan mengunyah menyisakan suara gemeletakan. Dentingan piring,
sendok, garpu dan pisau yang saling beradu terus berbunyi. Sebuah orkestra tanpa partitur sedang dimainkan.
Mereka nampak begitu bersemangat melibas santapan yang terhidang. Chicken soup, steak, salmon steak, sukiyaki, barbeque, sop kikil, pindang bandeng, urap sayuran, souffle terung, rendang kerang, dan makanan mewah lainnya, satu demi satu raib dari tempatnya.
Di atas meja makan, semua rencana itu disusun. Sepuluh orang lelaki begitu
beringas menyobek-nyobek daging ayam atau sapi dengan gigi-gigi mereka.
Keringat mulai menetes dan terkadang jatuh di atas makanan yang mereka
santap. Sesekali lendir mengalir dari hidung mereka dan sebelum menetes
mereka pun dengan sigap mengisapnya. Baju yang mereka kenakan pun mulai
basah.
“Bagaimana
dengan rencana kita?” Salah seorang mulai membuka pembicaraan. Lelaki
bertubuh pendek dengan perut buncit itu mendesit, saat merobek-robek
daging ayam di mulutnya. Suara-suara mendesit juga begitu jelas
terdengar bergantian keluar dari mulut yang lain.
Sejenak
tak ada yang menjawab. Hanya suara desit, suara gemeletakan, suara
dentingan, dan suara sedotan kuah yang terdengar. Mereka masih asyik
dengan kenikmatan hidangan yang sangat mengundang selera. Sesekali ada
yang mendehem, bahkan terbatuk-batuk. Semuanya begitu khusuk menikmatinya.
“Rencana kita ada perubahan, Tom.” Salah seorang menimpali.
“Maksud
kamu?” Lelaki buncit yang dipanggil Tom itu sejenak menghentikan sendok
yang hampir saja amblas ke dalam mulutnya yang masih terbuka. Matanya
semakin melebar. Tatapannya menohok tajam ke wajah rekan-rekannya.
“Iya…Rencana pertama kita ada sedikit perubahan.” Lelaki yang persis berada di hadapannya pun menimpali.
“Betul.” Hampir bersamaan beberapa lelaki yang lain menimbangi, meski di mulut mereka masih penuh dengan makanan.
“Alasannya
apa? Tolong jelaskan!” Tom kembali bersuara, setelah sendok yang berisi
makanan yang tadi terhenti, telah amblas ke dalam mulutnya. “Kamu,
Bram, tolong jelaskan!” lanjutnya sembari menatap ke arah orang yang
berada di sampingnya.
Lelaki tinggi kurus itu sedikit tersedak. Beberapa kali ia mendehem, lalu meraih segelas air dan meneguknya. “Begini....
Kita tak dapat lagi menggunakan strategi yang dipakai di Aceh atau di
Timor-Timur. Ada beberapa hal yang perlu kita ubah. Kita harus bergerak
seolah-olah peristiwa yang nanti terjadi, tidak jelas motif politiknya.”
Ia kembali menghirup air di gelas yang tinggal setengah. “Dalam membuat peta konflik, kita tak perlu terlalu tergesa-gesa. Masih
banyak target daerah yang potensial dalam rencana kita. Bagaimana
kawan-kawan.” Pandangannya menghambur ke arah lelaki-lelaki yang masih
saja terlena dengan makanan lezat di hadapannya.
“Betul.
Betul. Kita memang tidak boleh gegabah. Sebab resiko yang kita tanggung
sangat besar,” timpal yang lainnya. Suara dentingan sendok, garpu dan
pisau yang beradu dengan piring menyela di antara percakapan mereka.
Sejenak Tom terdiam. “Jadi menurut kalian, cara apa yang seharusnya kita lakukan?”
“Begini….
Dalam teori konflik, kita sudah mengetahui, ada beberapa hal yang
sangat potensial menimbulkan konflik di masyarakat, seperti suku atau
agama. Dan untuk sementara di negara ini, potensi itu masih besar
kemungkinan untuk digarap,” ujar Herman. Diraihnya segelas air, lalu meneguknya dengan cepat.
“Betul
kata Herman,” celetuk Sandi. “Potensi konflik di beberapa daerah masih
besar kemungkinan terjadi dengan memanfaatkan realitas tersebut,
terlebih lagi di wilayah timur.”
“Jadi menurut kalian apa yang telah kita lakukan di Ambon, di Poso atau di Sampit itu, berhasil?”
“Betul sekali. Sangat berhasil,” sahut mereka hampir bersamaan.
“Mengenai pengeboman yang dilakukan selama ini, menurut kalian bagaimana?” Tom berdiri dan menyambar paha ayam di depannya.
“Begini,” diraihnya piring yang berisi salmon steak,
Sandi kembali menimpali, ”Upaya itu bisa dikatakan gagal. Manajemen
issu yang dilakukan pemerintah cukup baik. Meski demikian imbasnya di
masyarakat di daerah yang memang rawan konflik cukup mengena.”
“Lantas, penajaman konflik para elit politik terutama di antara partai-partai, berjalan sesuai rencana?”
“Sampai
saat ini, proses itu terus berjalan, meski memang sulit, tapi kita akan
jalan terus secara perlahan dan hati-hati.” Suara sendawa keluar dari
mulutnya. Diambilnya segelas air dan meneguknya. “Namun,”
lanjutnya, “Beberapa orang telah kita tempatkan di pos-pos yang cukup
strategis untuk terus melakukan gerakan.”
Tom
manggut-manggut. “Bagus. Kalau begitu rencana kita akan semakin
berjalan mulus.” Sambil tersenyum, pandangannya menebar dan hinggap di
wajah rekan-rekannya yang juga melukiskan guratan senyum.
“Ayo, teruskan! Kita nikmati semua hidangan ini.”
Semua rencana itu disusun di atas meja makan. Sepuluh
orang lelaki itu kembali hanyut dalam kenikmatan masing-masing.
Hidangan yang menghiasi meja makan perlahan-lahan amblas ke dalam perut
mereka. Chicken soup, steak, salmon steak, sukiyaki, barbeque, sop kikil, pindang bandeng, urap sayuran, souffle terung, rendang kerang, dan masih banyak lagi menu mewah yang tersedia, perlahan mengalami kepunahan.
Sesekali
dari mulut-mulut mereka mengeluarkan suara sendawa yang begitu nyaring.
Perut mereka semakin membuncit. Terkadang mereka menarik nafas panjang
untuk kembali memberikan ruang di dalam perut masing-masing.
Di atas meja makan, di mana semua rencana itu disusun, piring-piring dan semua hidangan yang tertata apik, mulai berantakan. Tulang-tulang ikan berserakan dimana-mana. Suara-suara desit, gemeletakan gigi yang beradu dengan tulang ayam atau sapi, dan sedotan kepala ikan serta sumsum tulang ayam atau sapi masih terdengar nyaring.
Mereka
semakin asyik dengan kenikmatan yang terhampar di atas meja. Dan mata
mereka terus menatap jalang pada setiap hidangan. Dengan gesit mereka
terus menambah makanan di atas piring masing-masing yang masih berisi.
Dan gigi-gigi mereka terus bekerja. Suara gemeletak terus terdengar. Kadang
kala di antara mereka ada yang mendehem, bahkan terbatuk-batuk.
Terkadang pula suara batuk tersebut menggelegar karena dahak yang
mengental, lalu mereka menelannya. Suara sendawa pun menyelinap di antara suara-suara itu.
“Lantas, bagaimana dengan target politik kita.” Tom kembali bersuara.
“Sesuai rencana, kita akan perlahan-lahan bergerak dan mengambil-alih kekuasaan,” ungkap
Joni nampak serius, sembari mengambil tissu dan mengusap kumis lebatnya
yang terkena kuah sayur dan dihinggapi beberapa butir nasi.
“Bagus.
Jadi kita dapat berjalan dengan mulus.” Wajah Tom nampak berseri. Ia
tersenyum menyeringai. Dan semua lelaki yang ada di meja makan itu pun
tertawa terbahak-bahak. Tanpa mereka sadari beberapa butir nasi yang tersisa di mulut mereka, menyembur ke luar.
“Tapi
ingat kawan-kawan, kita harus tetap berhati-hati. Jangan sampai rencana
kita ini tercium. Sedikit pun tak boleh. Kita harus menjaganya
baik-baik. Ingat sekali lagi resikonya sangat besar. Itu juga harapan para financial support kita di luar negeri. Semua rencana harus tersusun dengan baik dan rapi,” Tom mengingatkan.
“Itu pasti, kita memang harus bekerja secara profesional. Tak boleh ada yang luput dari pemantauan kita. Semuanya harus terekam, sehingga kita dapat menentukan langkah-langkah selanjutnya,” balas Beni.
“Betul.
Betul,” ucap mereka serentak. Dan suara tertawa terbahak-bahak kembali
menggema dalam ruangan yang dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan pelukis
luar negeri. Di sudut-sudut ruangan dan di dalam lemari-lemari hiasan,
terpajang indah keramik-keramik kuno dan hiasan-hiasan buatan luar
negeri.
“Ayo teruskan! Nikmati hidangan ini sepuasnya. Semua demi kesuksesan kita.” Tom kembali mempersilahkan.
Semua
rencana itu disusun di atas meja makan. Sepuluh orang lelaki itu pun
kembali khusuk dengan kenikmatan-kenikmatan yang mereka rasakan.
Pembantaian kembali terjadi.
Di
dalam ruang yang mewah itu dan di antara para lelaki yang nampak
beringas menghabiskan hidangan yang tersedia di atas meja, seorang
perempuan tua berdiri di sudut ruangan. Ia hanya mematung menyaksikan
para lelaki itu makan.
Ditariknya nafas panjang. Tugasnya hampir berakhir. Tinggal menyiapkan pencuci mulut. Puding, tiramisu, green apple, cocktail
dan pisang telah tersedia di sampingnya. Ia hanya menunggu sepuluh
orang lelaki itu menyelesaikan santapannya, lalu dengan bergegas ia akan
membawa semuanya dan meletakkannya di atas meja. Selesai.
Wanita
tua itu, masih berdiri mematung menunggu perintah. Ia tak perduli apa
yang mereka bicarakan. Sesekali pandangannya menghambur ke atas meja
yang kini berantakan. Dilihatnya lelaki pendek dengan perut yang semakin buncit itu terus saja menghisap kepala ikan yang berada di piringnya. Beberapa
lelaki lain pun melakukan hal yang sama. Hingga beberapa kepala ikan
telah menjadi korban. Semuanya hancur. Otak dan matanya telah amblas ke
dalam perut mereka.
Beberapa
di antaranya kemudian mengambil tulang ayam dan menggigitnya dengan
keras. Suara gemeletak terdengar nyaring. Dan setelah itu, suara sedotan
pun terdengar, mirip suara pengeboran minyak atau suara alat penyedot
air di pertambangan-pertambangan.
“Kepala
ikan dan sumsum tulang ayam ini begitu nikmat,” terdengar Bram,
menggumam dengan mulut tersumpal tulang ayam yang sementara disedotnya.
Suara desit terdengar nyaring.
“Benar. Semuanya begitu nikmat,” celetuk yang lain.
Setelah
semuanya habis, mereka pun mengambil tulang sapi yang telah habis isi
dan kuahnya. Diambilnya sendok, lalu perlahan dimasukkannya ke dalam
lubang tulang tersebut dan mencungkil sumsumnya ke luar. Mereka
benar-benar sangat profesional melakukannya. Dengan begitu lahap
semuanya amblas ke dalam perut mereka.
“Okhh…” Suara sendawa hampir bersamaan keluar dari mulut mereka.
Satu
demi satu celemek yang melapisi paha dan yang terselip di kerah baju
mereka dilepaskan. Melihat para lelaki itu telah selesai, perempuan tua
yang sedari tadi hanya berdiri mengawasi mereka, bergegas melangkah
membawa puding, tiramisu, green apple, cocktail dan pisang yang sedari tadi disiapkannya.
“Akhh…. Ada pencuci mulutnya. Ini di luar negeri disebut dessert. Ayo
silahkan dihabiskan,” Tom kembali mempersilahkan kawan-kawannya untuk
menyantap makanan pencuci mulut yang baru saja tersedia. Sambil
mengusap-usap perut, mereka mengambil puding, tiramisu, green apple dan cocktail yang telah tersedia di atas meja dan kembali melahapnya hingga habis.
“Ingat! Okrrrrhh…. Rencana kita tak boleh gagal dan harus berjalan mulus. Lakukan kembali seperti di Ambon, di Poso atau di Sampit. Apalagi jika kondisi negara sedang kacau, kita bisa kembali berjaya.
Saya kira kawan-kawan yang menangani persoalan itu bisa bekerja dengan
baik,” ujar Tom sebelum mereka meninggalkan meja makan.
Hampir bersamaan, sepuluh orang lelaki itu beranjak meninggalkan meja makan yang kini lebih mirip ladang pembantaian. Tulang-tulang
ikan, tulang-tulang ayam yang sudah remuk dan tulang-tulang sapi
berhamburan. Taplak meja merah dengan hiasan kembang-kembang itu
pun terlihat seperti darah yang mengalir. Kulit-kulit pisang dan tissue
tak ketinggalan menghiasi keberingasan yang terjadi di atas meja makan,
dimana semua rencana itu disusun. Sepuluh orang lelaki
itu menyusun rencana di atas meja makan. Hanya bekas-bekas pembantai
mereka yang tersisa.
Cerpen Idwar Anwar
Makassar, 1 Muharram 1422 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar