Pukul 3 dini hari, 1
Ramadhan, suara alarm dari handphone-ku berbunyi nyaring. Bahkan terasa
lebih nyaring dari hari-hari sebelumnya, memberontak dan seolah ingin
menghancurkan gendang telingaku. Dengan sisa-sisa tenaga yang berhasil
kukumpulkan, susah payah aku bangkit dari pembaringan. Tubuhku masih
letai, sebab sudah beberapa hari aku terbaring sakit. Entah aku sakit
apa. Yang pasti, pikirankulah yang paling berperan penting dalam membuat
tubuhku keropos dan benar-benar tak berdaya.
Sesekali
kuusap wajahku yang pasti terlihat sangat berantakan. Air mataku yang
mengalir begitu banyak menjelang tidur semalam, masih terasa di
permukaan pipiku, mengering membentuk kumpulan serbuk bersama tahi
mataku. Dan di sudut bibirku, guratan air liur yang mengering masih
membekas jelas. Mungkin semalaman mulutku menganga terlalu lama.
Pikiranku
masih kosong. Aku tak tahu, apakah hari pertama puasa ini aku bisa
melaksanakannya dengan baik. Dengan tubuh yang masih lemah dan pikiran
yang teramat kalut, aku takut tak mampu menjalankan kewajibanku dengan
baik. Meski aku bukan termasuk muslim yang baik, namun sungguh, dalam
hatiku ada cahaya yang ingin kujadikan pedoman dalam hidupku. Walau
cahaya itu masih redup, tapi kuyakin suatu saat nanti, cahaya itu akan
menjadi penerang dalam hidupku.
Tapi malam
ini, aku sungguh tak berdaya. Kerontang tubuhku ternyata terkalahkan
oleh gersangnya hatiku. Seperti tak ada kehidupan di sana. Sekuat apapun
aku menelisik, mengais-ngais, akan tetapi tetap saja sulit kutemukan
semangat kehidupan. Seluruhnya nampak gersang. Tak ada semangat.
Semuanya hanya berjalan seperti rutinitas hidup sebagai manusia yang
bernafas, makan, minum atau tidur. Kendati semua itu juga terasa hambar.
Angin
menjelang subuh terasa kaku, menyerudukkan gigil di tubuhku. Di tepi
ranjang, aku masih terduduk kaku. Tatapanku membentur dinding kamar
bercat biru bergaris kuning yang mulai banyak terkelupas. Sesekali sorot
mataku menjelajah pada tumpukan skripsi kusam, koran-koran tua, dan
buku-buku yang tak teratur dan berdebu. Tapi tetap kosong. Kutemukan
tatapanku tak bermakna.
”Ah, malam
ramadhan yang payah.” Pedih dan berdarah. Kata-kata yang melintas di
batinku itu terasa menyayat membuahkan luka yang teramat perih.
Ya, malam
ramadhan kali ini bagiku memang terasa payah. Hambar, seperti tanpa
makna. Malam yang seharusnya menjadi malam yang indah untuk memulai
ramadhan kali ini terasa begitu tandus. Tak ada keceriaan seperti
ramadhan tahun lalu. Malam yang seharusnya menjadi malam terakhir
sebelum kami memasuki jenjang pernikahan, kini hanya menjadi malam yang
tak punya arti lagi. Benar-benar gersang.
Aku dihantui
kegamangan. Sebuah ketakutan yang teramat sangat akan kehilangan
seseorang yang sangat kucintai datang menyelubungi dengan garangnya dan
menjadi tudung pikiran dan batinku. Sebuah ketakutan akan kehilangan
seorang perempuan dengan ketulusan cinta yang mengalir deras dalam
jiwanya yang telah kucampakkan dengan tanganku sendiri, dengan lidahku
sendiri, dengan keberingasan yang aku sendiri tak pernah
membayangkannya.
Ah, aku tak
tahu harus memulai dari mana ramadhan kali ini. Aku benar-benar tersiksa
oleh perbuatanku sendiri. Cinta, ya cinta yang tulus itu telah
kusia-siakan begitu saja. Kuterlantarkan dalam dingin dan panas yang
membakar. Aku tak pernah hadir sebagai penghangat, peneduh terlebih lagi
sebagai pelindung bagi batin dan tubuhnya. Aku hanya mampu menjelma
menjadi malapetaka bagi cinta yang tulus itu. Aku hanya hadir bagai
harimau kelaparan yang siapa menghabisi mangsanya.
Ya, menghabisi
adalah kata yang tepat bagiku, bagi lelaki yang tak tahu malu, tak tahu
diuntung. Lelaki dengan keegoisannya yang maha tak terbendung. Lelaki
yang hanya tahu menghisap cinta yang teramat tulus itu hingga mengering
dan tak pernah mau peduli, apa cinta itu akan menderita, kering dan
merana.
Dan ketika
cinta itu meninggalkanku, aku pun terperangah. Aku kaku bagai
patung-patung purba. Aku terperosok ke dalam jurang yang teramat dalam
dan gelap. Aku menemukan diriku hancur berserakan di atas padang yang
tandus dengan tanah-tanahnya retak. Terhimpit di sela-sela ilalang yang
juga ikut meranggas.
Lalu, awal
malam ramadhan ini sungguh-sungguh menjelma menjadi awal kehancuranku.
Dinding-dinding kamar menjadi saksi dari sebuah proses keterpurukan jiwa
dan tubuhku. Saksi akan sebuah kehancuran seorang pencinta yang tak
tahu diri. Seorang pecundang sejati yang terkapar di atas bara yang
membakar segenap kesadarannya.
***
”Tak ada ramadhan untuk kita.”
Aku
terkapar lemas. Tubuhku lunglai. Tulang-tulangku luruh satu per satu.
Kalimat itu telah membuat totalitas kemanusiaanku runtuh. Aku tak tahu
lagi harus berbuat apa. Segalanya menjelma serpihan… hancur. Waktu yang
telah kami rangkai bersama, terlepas satu demi satu, terbang bersama
angin. Terasa sulit kutangkap.
”Tapi bukankah
kita telah sepakat ramadhan kali ini adalah ramadhan terakhir sebelum
kita membangun bahtera rumah tangga? Aku ingin ramadhan kali ini adalah
ramadhan terindah yang pernah kita lewati sebelum kita menyatu dalam
aliran kehidupan yang benar-benar utuh dan suci.”
”Tapi semua
itu hanya masa lalu. Aku tak ingin semuanya kembali terjalin seperti
dulu. Aku tak ingin derita yang selama ini kupikul harus kembali
kurasakan. Aku sudah tidak yakin dengan hubungan kita. Semuanya seperti
berjalan tanpa cinta. Aku begitu pesimis dengan keadaan ini. Kita bisa
bersatu atau tidak, aku tak lagi pernah berpikir ke arah itu lagi.”
”Tapi aku tak mampu menerima kenyataan ini. Aku hancur! Aku meradang!”
”Seandainya kau tahu betapa pedihnya hatiku tatkala membaca sms
mu yang dengan sepihak memutuskan hubungan ini. Tangisku menderai tanpa
mampu kubendung. Aku terkulai. Tubuhku limbung. Namun aku coba bangkit.
Aku tak boleh kalah untuk mempertahankan cintaku. Tapi… sungguh aku
sepertinya telah putus asa menggali perasaanku untuk dapat kembali
seperti dulu, menjalin hubungan denganmu. Aku tak kuasa lagi
mempertahankan hubungan ini. Dan ini adalah keputusan yang teramat sulit
yang pernah kuambil dalam hidupku.”
”Aku
benar-benar minta maaf. Aku tahu aku telah berbuat kesalahan yang sangat
besar selama ini. Dan aku tak ingin kejadian ini adalah kejadian yang
terburuk dalam hidupku. Aku tak ingin perpisahan ini akan menjadi
penyesalan yang selalu datang menggerogoti sepanjang hidupku.”
“Tapi aku tak ingin hubungan ini terjalin lagi di antara kita. Aku bahkan berdoa pada Tuhan, jika kelak aku harus jatuh cinta lagi, aku harap itu bukan orang yang sama.”
Semuanya kian
hancur. Aku tak menemukan lagi seberkas harapan untuk bisa kembali
mendapatkan cintanya. Aku tersesat dalam belantara keterpurukan batin
yang teramat parah. Tak kuasa kutemukan jalan pulang untuk kembali
menimang-nimang dan membelai-belai cinta yang telah kuterlantarkan
sendiri. Cinta tulus yang kulemparkan ke ujung kesadaranku dengan
tanganku sendiri itu telah menjerit dalam keberingasanku. Dan aku… aku sang eksekutor tak lagi mampu berbuat apa-apa. Aku hanya mampu menatap nanar kepergiannya.
Aku meradang.
Hubungan yang begitu lama ini ternyata berakhir sia-sia. Tak ada gaun
pernikahan yang selama ini kami rancang dalam benak kami. Tak ada sebuah
bahtera yang dipenuhi cinta, tangis dan tawa anak-anak yang merengek
untuk didekap yang selama ini kami angan-angankan. Semuanya sirna oleh
keegoisanku. Segalanya hancur oleh semua kekasaranku.
Kehancuran
macam apa yang harus kuhadapi ini. Aku tak sanggup Tuhan. Sungguh aku
tak sanggup menerima kenyataan ini. Jika aku harus bersimpuh di kakinya
agar ia tak meninggalkanku, maka aku akan melakukannya dengan segala
ikhlas. Aku begitu mencintainya dengan segala kebodohanku untuk
mencintai.
Aku sadar, aku
memang lelaki yang tak mampu memaknai cinta. Aku binatang yang tak
mampu menggunakan akalku dengan baik untuk merumuskan cintanya yang
begitu tulus menjadi sebentuk kasih sayang yang mampu membelainya dalam
segala suasana. Logika-logikaku berantakan, bahkan aku sendiri tak
memahaminya. Jiwaku gersang, akalku kerontang hingga tak mampu memaknai
ketulusan cintanya.
***
Malam ramadhan yang payah. Aku
yang membeku. Perjalanan ini begitu sunyi untuk kutempuh sendiri. Aku
tak kuasa meramu kedirianku menjadi sebentuk harapan dan mimpi-mimpi
tentang hari esok bersama perempuan lain. Aku tak kuasa membayangkan
semua itu.
Membayangkan hidup dengan perempuan lain mungkin adalah
mimpi buruk bagiku. Aku tak ingin sepanjang hidupku kulalui dengan
mimpi-mimpi buruk. Aku tak ingin merancang masa depanku bersama
perempuan lain. Aku tak sanggup. Aku hanya ingin bersama cintaku. Meski
ia telah kusakiti, namun aku bersumpah untuk tidak membuatnya kembali
terluka.
Aku tak ingin,
tak ada cerita tentang gaun pengantin yang akan disematkan di tubuh
kami saat hari bahagia itu tiba. Aku tak mau, tak ada bahtera yang akan
membawa kami menuju keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Aku
tak kuasa membayangkan jika semua itu tak ada. Aku tak rela jika
semuanya menjadi musnah akibat kekejaman yang kurancang dengan
kebodohanku dan tanganku sendiri.
Aku sadar, ini
adalah kesalahan terbesar yang pernah kulakukan selama hidupku. Tapi
aku tak kuasa lagi untuk meyakinkannya untuk kembali membangun cerita
baru di antara kami. Dan aku teramat berantakan. Cinta yang tulus itu
benar-benar telah terluka. Ia berdarah, terkapar dalam rinai air mata
yang tak pernah berhenti menoreh segurat demi segurat perih di totalitas
keperempuanannya.
***
”Tak ada ramadhan untuk kita.”
Kalimat
itu tak pernah berhenti meraung-raung dalam jiwaku. Kutemukan diriku di
awal ramadhan ini bagai seonggok daging yang tak punya roh. Makanan
yang terhampar di depanku hanya menjadi hiasan mata. Tak ada keinginan
untuk memasukkannya ke dalam tubuhku sebagai penguat ragaku untuk
berpuasa besok.
Jiwaku
benar-benar telah rapuh. Hampir seluruh semangat hidupku pergi
meninggalkanku. Cinta itu. Ya, cinta tulus yang selama ini telah menjadi
kekuatan terbesar yang membuatku mampu menghadapi kerasnya kehidupan
telah berubah menjadi sesuatu yang tak pernah kubayangkan. Segalanya
telah menjadi lain. Kepergiannya membuat hidupku seperti tak bermakna
lagi.
Kebodohankulah
yang membuatnya harus pergi dan menjelma menjadi kepedihan. Seluruh
kebahagiaan yang selama ini kurasakan memang sudah tak ada lagi. Terampas
oleh keegoisanku. Aku tak mampu menjaga cinta tulus itu. Menjaganya
bagai rahim yang teramat ikhlas membelai setiap janin yang didekapnya.
Dan
karena itu, aku malu pada diriku. Aku malu pada Tuhan yang telah
memberikan cinta tulus itu, namun tak mampu kujaga dengan baik. Aku malu
karena tak mampu membalas ketulusan cinta itu dengan membuatkannya
rumah dalam jiwaku. Sebuah rumah indah, sejuk dan damai yang penuh
dengan harapan-harapan untuk menjalani hari-hari esok yang ceria dan
penuh kebahagiaan.
***
Malam ramadhan yang kerontang. Kutelusuri setiap helainya, kutelisik dengan jemari jiwaku yang rapuh. Namun, tak kutemukan segalanya
dalam puing-puing malam ramadhan yang telah berantakan. Aku kalah. Ya,
aku kalah.... Aku pecundang yang tak mampu berbuat apa-apa pada cinta
yang selama ini telah memberikanku segalanya.
Gigil malam
hanya menyisakan ketersiksaan dan penyesalan yang berdarah-darah dalam
batinku. Tak ada lagi ramadhan yang indah. Ramadhan yang dipenuhi dengan
cinta yang menyejukkan segala yang ada dalam diri kami. Tak ada lagi
gema azan yang mengantarkan kami dengan segala keikhlasan beriringan
menuju rumah Tuhan.
Semuanya telah
sirna. Bahkan dalam anganku pun segalanya telah dipaksa untuk
menyingkir dan jangan pernah lagi untuk kembali. Memoriku dipaksa untuk
mengosongkan semua kenangan itu. Kenangan tentang sebuah percintaan yang
tulus yang telah kunodai dengan kebodohanku.
Tuhan aku tahu, aku begitu kotor dan tak layak lagi meminta pada-Mu. Tapi jika masih diberi kesempatan untuk bermohon, maka hamba mohon,
jangan tutup pintu hatinya, dan hati hamba untuk dapat tetap berharap.
Ya, mungkin dengan berharap hamba kembali bisa menjadi manusia….
Idwar Anwar
Air Mata Subuh, 1 September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar