Senja
menari-nari di bibir laut, membiaskan memar di atas kota basah.
Ombak-ombak menyanyikannya dengan ritme gelisah. Menghempas
karang-karang yang menatapnya nanar.
Di
sebuah bangku tua yang pada setiap tepinya lapuk dan kusam, aku duduk
melingkarkan lengan pada seonggok kehangatan yang resah menanti dentuman
bibir sang kekasih menggetarkan cintanya. Angin yang berhembus membawa
aroma laut menerpa wajahku dan sebuah kehangatan yang kurangkul mesra.
Setangkai
senja itu menggelayut gelisah. Di mataku keresahannya membayang
membentuk sebuah siluet; ragu-ragu. Di kejauhan membayang pulau-pulau, bagang-bagang[*]
dan perahu-perahu nelayan yang sesekali tenggelam dalam pandanganku
oleh ombak yang menghempas menyisakan gemuruh. Orang-orang berlarian
menghindari rinai hujan yang menjuntai dari langit yang mulai pekat.
Ada
yang mencelupkan tubuhnya ke dalam tenda-tenda, tempat para penjual
yang nongkrong setiap sore di Pelabuhan Tanjung Ringgi’ menjajakan
potongan-potongan kehidupan. Ada yang membungkus diri dengan mantel yang
penuh dengan bekas lipatan-lipatan. Ada yang berlari
sekencang-kencangnya menghampiri mobilnya dan tertelan ke dalamnya. Ada
juga yang tetap pulang dan rela tubuhnya dicecah hujan.
Aku
masih tetap duduk di atas bangku lapuk, sisa-sisa kesetiaan yang suram.
Sesekali menggeser dan mengangkat sedikit pantatku yang mulai penat.
Sebuah paku yang terbuka kurasakan menusuk pahaku, saat kian mendekati
tubuhnya yang dibekap pakaian berwarna krem. Tubuh itu menebar aroma
parfum yang membuai kesadaranku.
Di atasku, gemuruh seng yang diterpa
angin menyisakan keterkejutan. Beberapa orang kulihat masih asyik-masyuk
dengan kail di tangannya, tafakur di bibir laut, memancing kesetiaan
ombak pada laut. Membiarkan tubuh-tubuh mereka basah oleh cecah hujan
yang rintik.
Diam
dalam seribu bahasa, membuat kami hanya seperti berlomba menghirup
udara senja. Rintik hujan berhamburan dihempas angin yang sesekali
bertiup kencang. Butiran-butirannya yang halus kadang kala menerpa
wajahku. Sesekali kuusap dengan telapak tanganku yang mulai dialiri
gigil.
Karena
tak kuasa, akhirnya kubenturkan binar mataku ke permukaan wajahnya.
Kulihat wajahnya masih beku oleh angin yang menggigilkan. Lalu pindah ke
bola matanya yang berombak. Aku tahu ada gelisah di sana.
“Kenapa senja ini membuatku gelisah?” tanyanya membuyarkan keterpukauan kami pada lebam di tepi langit.
“Ah,
kau ini ada-ada saja,” timpalku sekenanya. Aku tahu gelisah itu tumbuh
dari penantiannya akan sebuah ucapan yang keluar dari bibirku. Tapi
sudahlah. Degup jantungku pun mulai berontak.
“Kita
sama-sama tak tahan diseruduk ketidakpastian.” Kalimatku tak sempat
keluar karena buru-buru kutelan. Aku lalu tertawa kecil, meski degup
jantungku semakin kencang dan tak kuasa kuredakan.
“Ayo
kita pulang. Rinai hujan sesekali telah menjelma serbuk di angkasa,”
ucap perempuan itu lagi. Sorot matanya menuju laut, menerjang serbuk
hujan yang berhamburan yang kadang-kadang berubah dan datang begitu
cepat menusuk-nusuk permukaan bumi. Aku tak peduli. Kulihat matanya
malah menolak apa yang diucapkan bibirnya. Aku tahu itu bagian dari
kegelisahannya.
“Sebentar
lagi. Bukankah malam tidak lama lagi akan menghamparkan tudung
hitamnya? Sebaiknya kita nikmati dulu senja ini. Senja dengan luka bakar
di tepinya.” Mataku perlahan-lahan semakin beriak.
Perempuan
itu tertunduk. Seperti ingin memenjarakan tatapannya di keheningan
lantai yang kian basah. Tapi sekali lagi aku tahu, ia tak akan mampu
begitu lama melakukannya. Aku tiba-tiba mengerti betul riak di bola
matanya. Entah mengapa aku begitu yakin akan apa yang ada dalam benakku.
Warna
lampu merkuri yang dipaksa menerangi, menyaput malas permukaan wajahku
yang membungkus perempuan itu dalam kehangatan. Ritme jantungnya
kurasakan mengalir ke seluruh permukaan tubuhnya yang di balut hawa
dingin.
“Ah,
mengapa senja ini begitu berpihak padaku,” kataku membatin. Di sudut
bibirku menggelayut kepuasan. Guratan itu kian jelas, namun berusaha
kusembunyikan.
Kulihat
perempuan itu menatapku. Aku menangkap potongan-potongan bening matanya
yang dikaburkan senja. Ada yang mengalir deras dari sorot mata itu. Aku
bisa merasakannya. Gemuruh dalam dirinya membuat bibirnya dingin dan
beku.
Dalam
keterpakuan kami, tak terasa bibirku juga menjelma ngarai; sunyi.
Berbagai kata yang telah kupersiapkan untuk kuucapkan di hadapannya,
seketika saja lenyap. Semuanya menguap di angkasa, menari-nari bersama
awan, namun tak juga hendak turun bersama air hujan.
Kami
sama-sama diam. Entah mengapa lidahku teramat kaku. Ketakutan macam apa
yang dengan garangnya memenjarakanku. Menghempasku dalam
ketidakberdayaan. Tarikan nafasku bergemuruh menahan kalimat yang
tersumbat di tenggorokanku. Angin dingin semakin beringas menerjang
tubuh kami.
“Aku kedinginan,” ucapnya.
Berkali-kali
ingin kukatakan bahwa aku tahu apa yang bergejolak dalam dirinya. Angin
dingin hanya bagian terkecil dari kegelisahan itu. Kutarik kembali
nafas yang makin memburu. Beribu keraguan menghempas bersamanya. Kusobek
keheningan wajahnya dengan tatapanku yang berusaha menembus cahaya yang
kian berkurang di mayapada.
Diam…. Cukup lama suasana itu mematok kami. Hingga dengan segala keberanian….
“Ambillah
setangkai senja ini. Jangan biarkan layu membentuk kerutan-kerutan
kepedihan. Biarlah kusemai di ranum bibirmu, di tiap helai rambut yang
menjuntai indah, di setiap pori-porimu, di denyut nadimu dan debar
jantungmu. Di potongan-potongan nafasmu dengan khusyuk kusemai setangkai senja itu.” Akhirnya keluar juga kalimat yang sekian lama mendesak-desak.
Perempuan
itu tergeragap, lalu diam menatapku tanpa ekspresi. Hanya matanya yang
berucap. Hanya matanya yang melantunkan orkestra musim semi. Hanya
matanya yang menari-nari penuh kegirangan. Hanya matanya yang
memancarkan binar. Dan hampir tak kusangka… ternyata hanya di matanya
pula kutemukan keraguan.
“Kita beda….”
Aku
tersentak. Tapi cinta teramat mampu menepis segalanya. Sebuah kekuatan
dengan cepat memenjarakan selaksa keraguan di senin sore medio februari
itu….
***
Tiba-tiba
aku terperanjat. Pandanganku tanpa kusadari perlahan kabur oleh air
mata. Di bangku yang menggiringku pada abad-abad renyah, aku ternyata
masih tetap terduduk. Aku tak pernah kembali menemui perempuan itu di
abad lampau. Yang ada, hanya kenangan itu menggiring kesadaranku ke
dalam kuasanya.
Beribu
kepedihan dan rasa penyesalan datang menggerogoti dan memenjarakan
bibirku hingga dipaksa untuk kehilangan tawa bahkan senyum sekalipun
jika mengingatnya. Kuyakin tak seorangpun akan mampu mendapatkan lagi
tempat dalam diriku yang ditinggalkannya, sebab ketulusan itu telah
mempersembahkan diri seutuhnya.
Tapi
kini perempuan itu telah terbujur kaku dalam kepedihan yang kutabur.
Ketidak-jujuranku membuatnya ingin mematahkan dan mencampakkan setangkai
senja yang dulu kusematkan ke dalam totalitas dirinya. Aroma kebencian
seperti menggumpal-gumpal dan beriring mendekap kepedihannya. Sepertinya
semua potensi dirinya meronta-ronta ingin meninggalkan segala kenangan
yang pernah kami semai pada setiap detak jantung dan tarikan nafas.
Sesaat,
pandanganku menohok tajam ke arah laut lepas. Perahu-perahu nelayan
berseliweran di riak mataku. Ada kesedihan yang terpancar. Bangku
tempatku menyematkan setangkai senja, menggeliat. Kurasakan keresahanku
merasukinya. Membuatnya ingin kembali mengulang kisah lampau. Aku
tersentak.
“Kau
telah menghianatiku! Cintamu telah terbagi!” Ucap sengit yang
berhamburan dari bibirnya yang lembut itu menerjangku. Kalimat itu
meluncur dari mulutnya, di suatu hari, di sebuah keheningan malam yang
pekat.
Aku
hanya diam. Telepon yang kupegang bergetar mengiringi kecemasanku.
Adakah kata pengkhianatan dalam cinta? Batinku meradang. Benarkah cinta
terbagi? Dan kalau pun terbagi, benarkah ia akan berkurang? Yang
kupahami, tak pernah ada pengkhianatan dalam cinta.
Cinta adalah sebuah
totalitas dari sebuah penghambaan seorang pencinta pada yang
dicintainya. Cinta tidak pernah terbagi, sebab ia sesuatu yang non
material. Dan kalau pun harus mengatakan “terbagi”, maka cinta itu tak
akan pernah berkurang. Ia akan tetap menjadi sebuah cinta yang utuh,
meski harus dibagi hingga titik kepuasan tertinggi kita membaginya.
Kualitas –atau kalau terpaksa harus mengatakan kuantitas-- cinta itu
sesungguhnya ditentukan oleh hubungan pencinta dan sang kekasih.
Seberapa hebatnya hubungan itu, sebegitu hebatnya pula kualitas cinta
yang miliki. Cinta pada seseorang tidak akan pernah sama dengan cinta
pada seorang lainnya.
Itu bukan karena berkurangnya kualitas cinta yang
“terbagi”. Akan tetapi ditentukan oleh seberapa hebat hubungan pencinta
dan sang kekasih. Sebab cinta pada seorang yang sama pun, dari detik ke
detik pasti tidak akan pernah sama kualitasnya. Cinta bukan sesuatu yang
statis. Ia dinamis dan akan terus berfluktuasi, tergantung dari
seberapa hebat hubungan antara pencinta dan sang kekasih.
Cepat-cepat
kutarik nafas dalam-dalam. Tak sanggup lagi aku meneruskan kalimat yang
ingin terus meluncur dari bibirku, sebagai penjelasan atas semua
kesalahan yang disematkan padaku. Bayangan awan hitam yang menggantung
di wajah perempuan itu membuatku takut.
Cap pengkhianat menempel erat di
wajahku. Padahal yang kupahami tidak ada kata pengkhianatan dalam
cinta. Sebab cinta itu adalah sebuah penghambaan. Ia datang dari Tuhan.
Ia akan tetap suci. Cinta tidak akan pernah ternoda. Tak ada secuil
pengkhianatan di dalamnya.
Aku
masih duduk di bangku itu ketika senja datang menghampiri. Tapi senja
ini tak seperti senja ketika aku bersama dengan perempuan itu meneguk
segala kenikmatan yang ditawarkannya.
“Biarlah
akan aku ramu kembali setangkai senja yang patah pada nisan hatimu,
agar engkau selalu terkenang sebait senja yang telah mempertautkan kita
dalam ranah yang mungkin tak pernah kita bayangkan.
Aku tak ingin
setangkai senja itu pergi begitu saja, meninggalkan kehampaan. Setangkai
senja itu tak pernah kuharap akan patah di hatimu,” pintaku lirih yang
dengan cepat dihempas angin. Tak seorang pun yang mendengar.
Beberapa
hari telah kulewatkan di tepat itu seorang diri. Di sebuah bangku, di
bawah temaram lampu merkuri, tempat dimana kami pernah saling
mempertautkan segala keinginan. Aku terus menunggu setiap senja yang
datang. Tapi entah, aku merasakan cinta yang dikukuhkan pada senja
temaram itu, tiba-tiba disergap mendung malam yang gulita.
Aku
terus mencarinya. Dari senja ke senja aku terus berjalan. Hari
berganti, waktu berlalu, detik demi detik telah kuhabiskan untuk mencari
setangkai senja yang telah mempertautkan segala kepolosan kami. Seolah
tak ada lagi senja yang tak terekam di benakku. Tapi aku tak pernah
menemukannya; setangkai senja yang pernah kusematkan di totalitas
perempuan itu.
Meninggalkan
sebuah bangku kenangan, tempat sebuah harapan disematkan adalah
ketersiksaan yang maha dahsyat. Aku hanya terus berharap, setangkai
senja yang pernah kusematkan dalam totalitasnya akan tetap tumbuh, agar
aku bisa tetap menikmatinya. Kendati juga aku harus rela, jika kelak,
aku tak akan mampu menikmati setangkai senja itu seutuhnya.
Makassar, 6 oktober 2005
Fajar, 23 Oktober 2005
[*]
Perahu besar bercadik yang digunakan sebagai alat penangkap ikan.
Perahu ini menggunakan jaring yang besar yang diletakkan pada baratengnya (tempat memasang cadik).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar