Sudah berkali-kali short message service yang dikirim oleh istriku masuk ke hp-ku.
“Sepertinya kita harus memikirkan kembali hubungan kita.”
Seolah
tak ada lagi kata-kata yang tepat untuk mewakilkan perasaannya yang
kutangkap sangat gundah dan bahkan mungkin sangat ingin segera
mengakhiri hubungan kami.
Hampir
enam tahun lamanya kami menjalin hubungan dalam ikatan perkawinan, yang
menurutku meski kadang terjadi pertengkaran, tapi pada umumnya
baik-baik saja. Dan dalam waktu itu pula kami berhasil memperoleh
karunia Tuhan untuk memelihara 2 orang anak yang lucu-lucu.
Bahkan
menurut tetangga-tetangga kami, anak-anak kami itu sangat lucu dan
cerdas. Keduanya memang sangat lincah, cukup baik dalam berbicara dan
cepat menangkap maksud orang yang berkomunikasi dengannya. Padahal waktu
itu, anak-anak yang seumur dengan mereka, masih belum jelas dalam
berkomunikasi dan berinteraksi.
Enam
tahun menurutku merupakan waktu yang cukup lama untuk saling memahami
dan mengisi. Terlebih lagi kami sebelumnya telah menjalin hubungan
pacaran selama hampir enam tahun pula.
Maka kubalas sms-nya:
“Apakah
hubungan kita selama hampir enam tahun harus kita hancurkan begitu saja
hanya karena ego yang kita pertahankan masing-masing?”
Tapi, ia tetap tak mau kalah. Dengan sengit ia malah mengatakan sesuatu yang tak kuduga akan keluar dari mulutnya.
“Apakah
aku harus mempertahankan segala kesedihan dan penderitaan yang selama
ini aku rasakan, selama menjalin hubungan denganmu?”
Karena merasa tertohok dengan kata-kata yang benar-benar tak kuduga itu, maka dengan cepat aku me-reply sms-nya.
“Apakah
selama hampir enam tahun hanya kesedihan dan penderitaan yang kita
dapatkan? Terlalu naif kita menggeneralisasikan semua keadaan yang kita
alami. Aku juga kadang merasa sedih, jengkel dengan sikap kamu. Tapi kan
aku juga banyak merasakan berbagai kebahagiaan yang kau berikan.
Bukankah tidak selamanya kita mengalami kesedihan sepanjang kebersamaan
kita?”
“Iya.
Tetapi apa yang telah kau toreh begitu membekas dalam hatiku. Terlalu
banyak penderitaan yang kau tabur di setiap gurat nadiku. Kamu begitu
egois sebagai seorang lelaki dan suami, hingga aku seperti tak pernah
merasakan perhatianmu. Atau mungkin engkau memang tak pernah ingin
memberikan perhatikan kepadaku?”
“Perhatian?” Kata yang sampai saat ini sangat menggelisahkanku, sebab rasanya begitu sulit mengurai apa yang dimaksud dengan perhatian
itu; mengantar-jemput, memanjakan dengan uang atau perhiasan, menjaga
waktu sakit, ataukah mungkin memenuhi segala keinginannya....
“Ya. Perhatian!”
“Perhatian
apa yang kamu butuhkan? Atau mungkin aku terlalu bodoh sebagai seorang
lelaki atau suami untuk menerjemahkan apa yang kamu maksud dengan perhatian itu?”
“Mungkin.”
“Jadi kamu menganggapku bodoh?”
“Mungkin.”
“Mungkin?”
“Sudahlah! Kamu memang selalu tak mampu memahami keinginanku.”
“Tapi
mengapa kamu tak pernah mengatakannya? Keinginan apa yang membuatmu
harus bertindak begitu dan mempertegas garis pisah di antara kita?”
“Apakah
seorang perempuan harus mengatakan semua yang ia butuhkan dari seorang
suami? Apakah sebagai suami kamu tak mampu menangkap sesuatu yang
kuinginkan dan kurasakan? Minimal yang kerap muncul dari
pertengkaran-pertengkaran kita.”
“Menurutku sudah. Dan sebagai manusia biasa, tentu tak semuanya sanggup kutangkap atau kulakukan.”
Tapi
istriku tetap saja ngotot. Dia sepertinya telah lama merancang sebuah
pemberontakan untukku. Karena setelah kembali membalas sms-ku, ia
mematikan hp-nya. Tentu saja aku merasa sangat kecewa, jengkel, marah
dan berbagai perasaan bergejolak dalam hatiku.
Tapi
mau apalagi. Saat itu ia sedang berada di rumah ibunya. Sementara aku
tinggal di rumah yang baru saja kami beli; rumah yang selama ini kami
idam-idamkan. Tempat berteduh yang kuharapkan dapat menjadi tempat untuk
melahirkan dan membesarkan anak-anak yang telah kami rancang bersama
bertumpuk keinginan-keinginan kami sejak masa pacaran dulu.
Tentu
aku tak pernah lupa, ketika ia sambil menggenggam erat jemariku
menganggukkan berbagai keinginanku untuk melahirkan tunas yang
berkualitas dari rahimnya; satu satunya rahim yang sangat kujaga
keperawanannya sebelum kami resmi dalam ikatan perkawinan.
“Kelak
aku ingin menyemai firman Tuhan di rahimmu,” kataku dengan lembut
sembari mengelus perutnya. Ada rasa kasih yang mendalam yang keluar dari
ketulusan kata-kataku. Dan aku tahu, ia memahaminya.
Dan
tentunya sebagai pacar yang baik, ia pun menyetujui. Ia kemudian
menatapku penuh makna. Sebuah kepasrahan ideal sebagai seorang
perempuan, menurutku ketika itu. Tentu aku tidak salah dengan
penilaianku. Dan aku yakin itu.
Sebab ia bukan perempuan Barat atau
berpikiran Barat yang terlalu mengagung-agungkan pemberontakan terhadap
kaum lelaki yang dianggap telah menindas kaum mereka, yang hingga
menurutku kadang sangat kebablasan.
Ya, mungkin seperti feminisme
radikallah. Ia bukan pula seorang model yang selalu harus menjaga
keindahan tubuhnya, utamanya wilayah pantat dan payudara agar tetap
montok, serta perut supaya tetap langsing. Makanya kadang orang-orang
seperti itu tidak ingin melahirkan, atau paling tidak, tidak mau
menyusui bayinya sendiri.
Katanya, payudaranya nanti akan turun dan
tidak kencang lagi. Begitu pula dengan pantatnya. Perutnya juga akan
menjadi gendut, karena telah menampung janin kurang lebih sembilan bulan
dalam rahimnya.
Pacarku yang telah menjadi istriku, hanya seorang
perempuan biasa yang aku cintai, karena menurutku ia memiliki keunikan
dari perempuan-perempuan lain yang kukenal selama ini.
Tapi
mau apalagi. Begitulah mungkin perempuan. Ketika merasa ada masalah di
dalam keluarganya, ia pun langsung melarikan diri dan seolah mencari
perlindungan ke orang tuanya. Padahal menurutku, mungkin alangkah
baiknya kalau ia pergi ke rumah mertuanya; orang tuaku.
Dengan begitu,
persoalan akan sedikit baik, sebab tentunya orang tuaku akan merasa
bertanggung jawab terhadap anaknya. Tapi kalau langsung ditangani oleh
orang tua masing-masing, tentunya setiap orang tua tak ingin anaknya
yang disalahkan.
Bagus kalau kedua orang tua masing-masing mampu
memahami bahwa mereka tidak perlu terlalu jauh ikut campur dalam urusan
rumah tangga anak-anaknya dan tidak berusaha memperkeruh keadaan.
Ketika
istriku pergi ke rumah orang tuanya, aku juga malah tak tahu
sedikitpun. Kedua anak kami pun diboyongnya. Tentu hanya aku yang
tinggal di rumah, sebab kami tak mempunyai pembantu atau orang lain yang
tingal di rumah. Dalam kondisi begitu, aku sering merasa gelisah.
Berbagai keinginan berkecamuk dalam hatiku.
Sebenarnya aku tak ingin
membiarkan keadaan ini berlangsung lama. Karenanya, aku berinisiatif
pergi ke rumah mertuaku untuk menjemput istri dan kedua anakku. Tapi
sebelum melaksanakan niatku, smsnya pun masuk dan ia bersikeras tak
ingin dulu diganggu.
“Biarkan aku tenang. Aku tak ingin berbicara dan bertemu. Jangan buat keadaan bertambah kacau.”
Tentu
aku merasa bingung. Apakah mungkin dengan perlakuan seperti itu semua
masalah kami dapat selesai. Bagus kalau kami masing-masing dapat
mengendalikan diri dan berusaha saling memahami. Tapi kalau kami malah
semakin mendramatisasi keadaan yang kami alami, maka tentu semua akan
bertambah kacau. Terlebih lagi, jika telah ada pihak lain yang juga ikut
memanas-manasi.
Tapi
biarlah, aku coba memahami keinginannya. Aku pun tak jadi berangkat,
meski rasa rindu pada mereka mendobrak-dobrak ketegaranku.
Sebenarnya,
aku ingin protes karena ia membawa kedua anak kami. Aku takut jika di
dalam hati mereka tertanam kebencian kepadaku; ayahnya. Bukankah itu
akan menjadi malapetaka terbesar dalam hidupku sebagai seorang ayah yang
telah lama memimpikan mendapatkan keturunan yang benar-benar dapat
berguna bagi orang tua, agama dan bangsanya.
Di
rumah, bila tak ada kegiatan, aku hanya duduk-duduk di teras rumah.
Dalam keadaan begitu, air mataku terkadang tak mampu kubendung.
Butiran-butiran bening itu seakan memaksa keluar, sebagai tanda
perkabungan bagi kesedihan yang menimpaku.
***
Menatap
bunga-bunga yang kami tanam, kerap mengingatkanku pada istriku. Bunga
mawar yang kami tanam di sudut taman yang tanahnya agak tinggi, bila
kupandangi seolah ingin bercerita tentang kebahagiaan kami saat menanam
dan memeliharanya.
Bunga yang kami tanam ketika baru saja menempati
rumah itu tumbuh dengan suburnya. Di beberapa bagian di halaman rumah
kami yang cukup luas, berbagai jenis bunga juga kami taman. Istriku
memang sangat suka dengan bunga-bunga. Begitu pula dengan aku. Makanya
kami selalu cocok kalau bicara tentang bunga.
“Tapi
aku juga sudah menanam bunga-bunga di sini. Bunga mawar yang dulu kita
letakkan di atas tanah yang agak tinggi pun juga telah kutanam di
halaman dekat kamarku,” katanya membalas sms-ku, saat kuingatkan tentang
bunga-bunga yang kami taman bersama. Sengaja kulakukan agar istriku
mengikat kenangan yang sama-sama kami bangun melalui bunga-bunga.
Membaca jawabannya, aku tidak lagi me-reply
sms-nya, tetapi langsung menindis tombol dan mencari namanya di hp-ku,
bermaksud menghubunginya. Jujur saja, selain untuk memberi komentar
tentang sms-nya, aku juga ingin mendengar suaranya. Sebagai suami yang
begitu mencintai istrinya, tentu aku juga merasa sangat rindu. Entah,
apakah juga istriku masih menyisakan setitik kerinduan dalam hatinya.
Tapi ia tak mau mengangkatnya. Dengan cepat aku kembali membalas sms-nya.
“Mungkin
yang kamu tanam itu sama jenisnya dengan bunga yang ada di halaman
rumah kita. Tapi, apakah kamu tak merasakan ada kekuatan lain yang
tersimpan pada tanaman itu? Karena kita menanamnya bersama-sama, tentu.
Di situ waktu berproses dan berhenti, lalu memahat kesadaran holistik
dalam diri kita.”
“Entahlah....”
“Bukankah
di situ juga tersimpan pedih; ketika jemarimu terkena pisau saat
menggali tanah untuk menanam bunga-bunga itu?
Bagaimana tanganku
berdarah karena teriris beling saat menguruk tanah untuk menimbun
akarnya. Kamu masih ingat kan, kita masih dapat tersenyum di antara
perih yang mendera. Dan sampai kini kamu juga bisa melihat bunga-bunga
itu dapat tumbuh subur dan bermain dengan riangnya bersama angin.”
“Tapi aku bukan bunga-bunga.”
“Benar.
Tapi waktu yang berhenti dalam dirimu tak pernah hilang, bahkan
menjelma ribuan cinta dalam totalitas kesadaranku. Sama seperti
bunga-bunga itu. Meski ia tertiup angin kencang atau badai sekalipun,
waktu itu tetap bersamanya. Bahkan jika bunga-bunga itu tumbang dan mati
pun, waktu tetap bersamanya; juga menjelma dalam diri kita. Kita akan
selalu ingat itu; mungkin sampai kita tua dan semua berubah.”
Tak
ada lagi balasan. Dan ketika hp-nya kuhubungi juga tak aktif. Beberapa
lama kemudian, karena tak tahan sepi dan didera rindu, aku pun
memberanikan diri mendatangi rumah orang tuanya. Namun hanya anak-anakku
yang kutemukan tanpa istriku.
Sambil
menangis, ibunya hanya mengatakan bahwa istriku pergi tanpa tahu ke
mana. Kepada anak-anak kami yang masih belum begitu mengerti hidup,
istriku berpesan akan pergi menanam bunga-bunga di negeri yang jauh.
Entah. Aku juga tak tahu.
Mungkin ia pergi membuang waktu yang ada dalam
dirinya, agar aku tak pernah lagi mengingatnya dan memaksa dirinya
untuk mengenang waktu yang telah bersemayam dalam diri kami. Mungkin ia
benar-benar ingin membuangnya.
Seketika
aku tersentak dan tertegun beberapa saat. Kebekuan menjalari sekujur
tubuhku. Bayangan bunga-bunga yang kami tanam berdua berkelebat sungguh
cepat dalam ingatanku. Lalu kutemukan perempuan itu berusaha membuang
semua kenangan yang terpahat di batok kepalanya. Di sebuah taman yang
ditumbuhi bunga-bunga, kudapati tubuhnya terbujur kaku. Di nadinya,
setangkai mawar menancap kokoh.
Lalu
keputusasaan begitu cepat memenjarakan otak dan nuraniku. Keseluruhan
hidupku seperti tercerabut hingga akar-akarnya. Karena tak sanggup, maka
aku pun memutuskan untuk membuang waktu dalam diriku. Di sebuah pohon
yang agak tinggi di samping rumah kami, di atas bunga-bunga yang kami
taman, seluruh waktu dalam diriku luruh.
Makassar, 13 April 2005
Fajar, 21 Mei 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar