Malam
itu, aku sedang menunggu deringan teleponmu yang setiap malam menemani
dan mengguncang gendang telingaku. Sebuah kerinduan yang acapkali
mengganggu ketentraman hatiku, saat kesunyian malam merambah di atas
kota ini. Saat itu, kau memang kerap menemani kesendirianku di kesunyian
malam.
Namamu
Lola. Entah mengapa, kita tiba-tiba saja berkenalan di kesunyian malam
itu, saat angin bulan September mulai bertiup. Dan pada akhirnya,
menggiring kita pada sebuah –yang sering kusebut— pseudo
percintaan. Aku pun heran, seperti keherananmu saat kita bercengkramah
di sebuah cafe.
Malam itu, kau banyak bertutur tentang kehidupan dan
cinta lewat bibirmu yang dipolesi lipstik dengan dandanan yang seakan
mewakili kehidupan glamor kota metropolitan.
“Ah, lupakan saja. Ini mungkin takdir yang memang harus aku lalui sebagai seorang pekerja seks,” katamu dengan nada tegar.
Aku
terpana. Kau sepertinya pasrah dengan pekerjaan yang selama ini kau
geluti. “Kau tak pernah berpikir untuk meninggalkan kehidupanmu yang
penuh kepura-puraan ini. Kehidupan yang di mata masyarakat begitu
nista?”
“Kepura-puraan?
Ah, kau seperti tak tahu saja. Kehidupan ini telah lama dipenuhi virus
kepura-puraan, bukan hanya dalam kehidupanku. Harga diri, tahta, harta
dan wanita merupakan sumber dari kepura-puraan di dunia ini,” ucapanmu
lirih. Sesekali rambutmu kau kibaskan. Harumnya menebar mengelus lubang
hidungku. Geraiannya sedikit menutupi balahan wajahmu yang terlihat
penuh polesan bedak.
“Sejak
lahir, kita telah berada dalam dunia kepura-puraan. Dunia yang
menurutmu mungkin tidak seperti yang kukatakan. Sebab kau lahir dari
rahim yang dirahmati Tuhan. Bukan berarti aku berasal dari rahim yang
tidak mendapat rahmat dari Tuhan. Tapi inilah aku, yang lahir dari rahim
seorang ibu yang telah tega membiarkanku hidup tanpa kasih sayang.”
Matamu
menatap kosong. Sesekali kau menarik nafas; begitu berat. Rokok yang
sejak tadi terselip di antara jemarimu, kembali kau isap. Asap mengepul
membentuk lingkaran-lingkaran. Dan sesekali lingkaran itu kau hempaskan
dengan jemarimu yang lentik.
“Entahlah.”
Kau kembali berbicara, setelah meletakkan rokok mentol yang kau hisap
di bibir asbak yang telah penuh dengan puntung rokok. “Aku berada di
dunia ini mungkin karena terpaksa. Sebab kedua orang tuaku telah
menganggapku serigala yang kelak akan memangsanya. Sehingga sebelum aku
keluar, aku sering dihujani dengan obat-obatan, agar aku tak dapat
melihat dunia ini. Terlebih untuk mengetahui perbuatan dan juga
menyaksikan kemunafikan serta kepengecutan orang yang semestinya saat
ini kupanggil ayah. Seseorang yang seharusnya dapat melindungiku.”
Kau
menatapku perlahan. Sorotnya begitu tajam. Tiba-tiba ada sesuatu yang
kurasakan begitu menekan-nekan kesadaranku. Tatapan matamu semakin tajam
menghujam nuraniku. Perlahan kupejamkan mata. Ada debar yang seketika
saja datang mengguncang jantungku. Sementara di luar rinai hujan dengan kepak sayap-sayap basahnya bercerita tentang harumnya bunga-bunga yang memekik tertiup angin beku.
“Mungkin
kau tak pernah merenungi kehidupan yang sedang kau jalani ini.“
Tiba-tiba kau menudingku dengan sengit. “Coba kau lihat anak-anak yang
dilahirkan dari rahim para kupu-kupu malam yang telah ditinggalkan ayah
mereka yang entah siapa. Atau mereka yang dilahirkan dalam keluarga
miskin. Mereka tiba-tiba langsung merasakan begitu kerasnya kerhidupan.
Atau…ah, aku begitu pusing memikirkan kehidupan ini, terlebih kehidupan
yang sedang kujalani.”
“Tapi kan tidak semudah itu kita menganggap kehidupan ini penuh kepura-puraan.”
“Memang. Tapi inikan kenyataan yang mau tidak mau harus kita akui.”
Aku
hanya mampu menatap matamu. Kehidupan ini memang benar-benar telah
membelenggu dirimu. Kau seperti trauma dengan kehidupan yang selama ini
menyelubungi perjalanan hidupmu. Hingga kau menganggap kehidupan dunia
ini semuanya penuh kepura-puraan. Kejujuran bagimu mungkin hanya ada di
tong-tong sampah yang selalu kita buang jika akan melakukan sesuatu.
Tapi,
kau mungkin benar. Selama ini aku banyak melihat orang yang pura-pura
berbuat baik, namun pada akhirnya mereka ternyata punya tendensi
tertentu. Atau ada orang yang jika berhadapan dengan kita begitu baik,
tapi setelah kita pergi, mereka pun menceritakan kebobrokan kita. Bahkan
menghancurkan kita dari belakang.
Aku
sendiri mengakui, terkadang harus berpura-pura hormat pada sesorang
yang sebenarnya sangat aku benci. Kemudian di belakang, aku lalu
bercerita tentang segala macam keburukannya hanya untuk mendapatkan
sesuatu. Aku juga sering berbuat baik di depan seseorang, hanya untuk
menutupi kesalahan. Dan masih banyak lagi kepura-puraan yang sempat
kusaksikan dan sekaligus kuperbuat dalam kehidupan ini.
Lalu, kesunyian merambati bagai musim beku.
“Tapi, pekerjaan yang kau lakukan inikan telah merendahkan derajat seorang wanita?” ucapku memecah kebisuan.
“Merendahkan,
katamu?” ucapanmu dengan suara meninggi, mungkin sedikit kesal. “Kau
pernah membaca Novel Nawal El – Sadawi, judulnya, Perempuan di titik nol?” katamu dengan mimik serius.
Aku diam-diam terkagum dengan bacaannya.
“Atau
lihatlah realitas di sekelilingmu,” sambungnya,
“Bagaimana seorang
wanita diperjual-belikan oleh orang tuanya jika ada seseorang yang akan
melamarnya. Ironis tidak, jika hanya karena tidak cocok dengan harga,
lamaran seorang laki-laki bisa ditolak. Bukankah itu pertanda bahwa
derajat seorang wanita hanya dinilai dengan uang atau ditentukan oleh
berapa harga mereka. Lantas, di mana letak nilai cinta yang sangat suci
yang diberikan oleh Tuhan? Oke, anggaplah ini hanya kasus di masyarakat
kita. Tapi, cobalah kita melihat di bagian lain dari dunia ini.”
“Jadi, kau menilai derajat seorang wanita seperti barang dagangan.”
“Bukan
hanya aku yang berpikir seperti itu. Tapi mungkin hampir semua wanita
yang ada di muka bumi ini. Atau paling tidak orang tua mereka. Lihat
saja, seorang wanita yang melangsungkan perkawinan, sebelumnya mereka
harus dibeli; lima juta, sepeluh juta atau bahkan sampai ratusan juta.
Setelah itu, mereka pun telah sah menjadi milik suami dan bisa
dipergunakan selama-lamanya sampai suaminya merasa bosan dan mencari
lagi wanita yang lain. Atau mungkin saja mereka hanya akan
dieksploitasi. Dan setelah itu semua orang akan tahu bahwa derajat atau
nilai wanita tersebut hanya lima juta, sepuluh juta atau seratus juta.
Apa bedanya dengan saya. Bahkan harga saya mungkin lebih tinggi
dibanding mereka yang telah menikah dan dibeli dengan harga 5 juta atau
20 juta. Sedang saya dalam sebulan bisa seharga lebih dari itu.”
“Tapi
ada yang disebut mahar. Yang dalam agama Islam menandakan rasa hormat
dan keinginan sungguh-sunggguh dari seorang laki-laki kepada seorang
wanita untuk dijadikan istri. Dan itu tidak hanya dinilai dengan uang.”
“Iya.
Aku juga tahu. Tapi untuk apa uang yang sampai ratusan juta itu? Yang
realistislah. Sangat jarang seorang wanita atau paling tidak orang tua
si wanita ingin menerima pinangan dari seorang laki-laki, jika pihak
laki-laki tidak mampu menyiapkan uang puluhan juta atau
ratusan juta. Mereka seolah-olah harus dibeli dan orang tua mereka
sepertinya juga siap menjual.
Untuk pestalah. Ya, menjaga gengsi di
depan teman-teman, saudara, tetangga, atau keluarga. Apakah kesakralan
perkawinan hanya diukur dengan materi atau gensi seperti itu? Aku
heran!”
“Ah,
sudahlah, aku tidak ingin berdebat mengenai derajat atau nilai seorang
wanita. Tapi yang jelas kau telah menjual diri. Dan kau perlu tahu,
pekerjaan yang selama ini kau lakukan penuh dengan dosa. Mengapa kau
tidak menikah saja. Bukankah itu lebih baik dan sah.”
“Kau
mengatakan aku menjual diri. Tidakkah kau sadari bahwa orang-orang yang
berada di sekitar kita ini, banyak yang berprofesi sebagai penjual diri
bahkan jadi pengemis dan penjilat.”
“Ah sudahlah! Mengapa malam ini kita sok pintar dan sok suci saja. Lebih baik kita bersenang-senang.”
Lantas
kita pun bercakap dalam diam sungai yang keruh, sebab perbincangan kita
memang bukanlah perbincangan abadi. Mungkin hanya sebentuk letupan
tungku yang terbakar api atau jeritan ilalang yang terpanggang matahari.
Dan
malam itu, akhirnya kita lewatkan dengan penuh gairah. Kau menggiringku
ke dalam duniamu, sebuah dunia yang belum pernah kukenal. Dunia yang
selama ini abstrak, saat itu menjadi begitu nyata. Kau telah
menyuguhkannya buatku.
Ya, dengan segala gairah yang kau miliki. Kau
mengajakku berlari di tengah padang yang begitu luas dan mendaki ke
puncak-puncak bukit yang penuh kuntum-kuntum bunga. Nafasku tidak
teratur, keringatku bercucuran, dan aku merasakan sebuah sentuhan halus
yang melelapkan. Bagai kuda betina kau berlari liar dan aku pun merasa
begitu jantan mengejarmu.
Angin malam yang bertiup saat itu kurasakan
sebagai sentuhan lembut tangan-tangan iblis yang membelai kita. Kuakui,
malam itu aku harus berjuang menghadapimu. Dan akhirnya aku terkulai di
sampingmu dengan bersimbah keringat. Kau tersenyum, dan kita pun
mengakhiri sebuah permainan iblis. Kita telah menjadi pemain yang baik.
Þ
Malam
semakin larut, namun teleponmu belum juga terdengar. Nyala lilin
dihadapanku menari dan sesekali meredup. Angin malam yang berhembus
sepoi-sepoi, diam-diam menyusup ke dalam kamarku yang penuh coretan
namamu dengan segala cerita tentang perjalanan pseudo percintaan kita. Sebuah perjalanan yang penuh ketakutan, namun juga penuh kenangan.
Malam
ini, malam minggu. Jam di dinding kamarku yang penuh sarang laba-laba
dan debu yang menempel menghiasi, telah menunjukkan pukul 2.00 dini
hari. Aku seketika teringat di suatu malam, ketika kau tiba-tiba
meneleponku dan menangis. Isak tangismu begitu memilukan. Nada suaramu
serak, seolah alkohol yang panas telah memasuki tenggorokanmu.
Malam
itu, kau sedang mabuk. Minuman yang sejak kita berkenalan tak pernah
lagi mengalir di kerongkonganmu, saat itu berbotol-botol telah
memasukinya.
“Kau telah membohongiku,” katamu ketika itu.
Aku
heran, kau menuntut kejujuran dariku. Bukankah selama ini kau hidup
dalam dunia yang penuh kebohongan, penuh kepura-puraan dan pencintaan
kita pun hanya sebuah kepura-puraan. Dan aku juga, seperti katamu, hidup
dalam dunia yang penuh kepura-puraan.
Bukankah
percintaan kita hanya sebuah permainan, yang jika lelah kita akan
berhenti sendiri. Percintaan kita, sekali lagi hanyalah percintaan semu,
yang ketika sadar, kita akan mendapatkan sesuatu yang tidak seperti
yang kita bayangkan. “Ah, sudahlah. Kau tidak perlu menangis,” ucapku
saat itu.
Memang
tak perlu ada air bening yang mengalir di mata. Bukankah kita sepakat
percintaan ini bukanlah percintaan abadi. Kita memang pernah jalan
bersama, menemani bintang-bintang dan bulan yang redup. Malam yang kau
janjikan buatku telah kita jalani bersama.
Kita reguk keindahan malam
tanpa sedikit pun yang tersisa. Kau begitu bahagia malam itu. Segala
kemunafikan cinta dan kasih sayang yang selama ini kau berikan kepada
setiap orang yang menginginkanmu, tak sedikit pun kau berikan padaku.
Kau telah memberikan kesucian cinta dan kasih sayangmu. Aku bisa
merasakannya.
Tapi
malam ini, entah mengapa aku benar-benar teringat padamu. Deringan
teleponmu telah memenjarakan kesadaranku. Tanpa terasa, malam semakin
larut. Lilin dihadapanku semakin pupus terbakar. Ia telah merelakan
dirinya habis terbakar demi menemaniku dan menghiasi kegelapan malam
yang kian pekat. Kebisuan menyelimutiku bersama kebekuan dinding-dinding
kamar.
Kutarik
nafas dalam-dalam. Rongga dadaku yang makin sesak seakan ingin meledak.
Kesadaranku timbul tenggelam. Lalu tiba-tiba aku sadar, malam ini,
ternyata cukup sebulan kau meninggalkan dunia ini. Meninggalkan duniamu
yang penuh kebohongan, meninggalkan kenangan yang tak pernah hilang. Ada
cerita yang seketika hadir dan menjelma genangan duka yang tak pernah
kulupakan. Lalu duka itu seketika menjelma genangan air mata.
Entahlah
mengapa malam ini aku masih tetap menanti deringan teleponmu. Deringan
yang sejak dulu sering menemani kesendirianku di tengah malam yang sepi.
Deringan yang telah mengawali perkenalan kita. Sebuah deringan yang
mengantarku pada kerinduan dan sekaligus penyesalan yang mungkin hanya
akan musnah bersama jasadku.
Aku
sadar, kau memang telah lama meninggalkanku. Namun percintaan yang
pernah kita jalani telah menyisakan sesuatu yang tak pernah terlupakan.
Sesuatu yang terus mengalir dalam darah dan terus menggerogoti tubuhku.
AIDS. Yah, kau telah meninggalkan penyakit itu untukku sebagai kenangan
percintaan kita.
Percintaan yang selama ini kusebut pseudo, sesuatu yang semu, ternyata bukanlah pseudo. Ada kenyataan yang kau tinggalkan. Sesuatu yang membuatku tak pernah melupakanmu.
Di sebuah kota tua yang beku,
dalam tahun 1996 dan 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar