Usianya
menjelang 10 tahun. Tapi tidak seperti anak-anak sebayanya, ia belum
pernah merasakan bagaimana suka dukanya menjadi anak sekolahan.
Sehari-hari ia harus bergelut dengan debu di persimpangan jalan, di
bawah traffic light, menjajakkan koran yang diambilnya dari agen koran langganannya setiap hari selepas shalat Subuh.
Setiap
hari ia harus berlarian ke sana-kemari menawarkan koran yang dibawanya
ke setiap mobil yang berhenti di saat lampu merah menyala. Dan dari
kaca-kaca mobil yang terbuka, ia mengais sedikit demi sedikit rejeki
untuk meyambung hidup. Dipikirannya yang berkecamuk hanyalah uang, uang
dan uang , serta apa yang harus dimakan hari ini untuk mengisi perutnya
yang kadang hanya diisi sekali sehari.
Namanya
Dogel. Ia memang masih kecil, namun telah dipaksa oleh keadaan untuk
bergelut dan larut dengan segala penderitaan. Ia telah mengerjakan
sesuatu yang sepantasnya dikerjakan oleh orang-orang dewasa. Dunia
kanak-kanaknya terbang begitu saja dihempas angin bercampur debu dan
panasnya matahari, di antara kendaraan yang lalu lalang.
Sejak
kecil ia dipelihara oleh Daeng Tima, orang yang mulanya sama sekali
tidak mengenalnya dan akhirnya diyakini sebagai ibu kandungnya. Ibu
kandungnya membuangnnya di dekat jembatan, di sekitar rel kereta api.
Padahal saat itu usianya belum cukup sehari.
Daeng
Tima menemukannya ketika subuh menjelang. Tubuhnya masih merah berlumur
darah dan air ketuban yang telah mengering. Tali pusarnya belum
dipotong. Suara tangis yang melengking memekakkan telinga, telah
menggelitik kesadaran Daeng Tima yang saat itu sedang tertidur di bawah
kolong jembatan, tak jauh dari tempatnya terbaring dengan selimut kumal
membalut tubuh.
Nasib
akhirnya membawanya hidup bersama Daeng Tima yang sehari-harinya
bekerja sebagai pemulung. Ia belum bersuami. Nasibnya tidak jauh
tragisnya dengan Dogel yang kini ia rawat seperti anaknya sendiri.
Daeng Tima berasal dari desa yang jauh di pedalaman. Ia
tak pernah mengenal bagaimana hiruk pikuk dan kejamnya kehidupan kota,
terlebih kota metropolitan Jakarta. Namun karena keinginannya yang
sangat kuat untuk mencari pekerjaan serta tergiur cerita teman-temannya
tentang indahnya kehidupan kota, ia pun langsung menyetujui ketika
seseorang yang tidak dikenalnya berniat membawanya ke kota untuk bekerja pada sebuah perusahaan pabrik.
Dengan
pikiran yang masih lugu dan tanpa curiga sedikit pun, ia mempercayai
semua kata-kata Randy, orang yang belakangan baru diketahuinya sebagai
seorang pencari wanita untuk dijadikan budak nafsu laki-laki hidung
belang di kota.
Mulanya
dengan perasaan yang sangat gembira dan penuh harapan, ia melangkah
meninggalkan desanya yang selama ini mengasuhnya dengan keramahan alam
dan senyum penduduk desa yang tulus. Sangat lain dengan senyum yang kini
disaksikannya di kota, tempat yang selama ini disangkanya seperti
sebuah sorga.
Hingga
suatu hari nasib buruk datang menimpanya. Belum sempat ia bekerja,
seperti janji Randy ketika pertama kali membawanya, ia malah diperkosa.
Randy, orang yang selama ini dipercayainya telah merenggut mahkotanya.
Sesuatu yang begitu berharga bagi seorang wanita bila ingin dikatakan
gadis, tanpa merasa berat meyandangnya.
Setelah
beberapa hari menjadi pemuas nafsu laki-laki bejat, ia pun berhasil
melarikan diri dari kamar yang selama ini dirasakannya sebagai neraka.
Di kamar itu, ia harus melayani rata-rata lima lelaki dalam sehari
semalam. Sebuah kamar dengan sisa-sisa desahan yang terus menggerogoti
batinnya. Penyesalan begitu menghantui.
Sekian
lama ia harus terkatung-katung, menyusuri gang-gang sempit, tidur di
emper-emper toko, di pinggiran rel kereta api, dan di kolong-kolong
jembatan. Hari-hari dilaluinya dengan penderitaan. Hingga akhirnya ia
menetap di sebuah gubuk kecil, di bawah kolong jembatan yang luasnya tak
lebih dari dua kali dua meter. Dindingnya terbuat dari karton. Atapnya
terbuat dari plastik dengan tinggi yang juga tak lebih dari dua meter.
Lantainya beralas karton dan kain-kain sarung bekas yang didapatnya dari
tempat-tempat pembuangan sampah.
Di
sekelilingnya, bangunan-bangunan megah berdiri kokoh dan begitu angkuh.
Kendaraan-kendaraan mewah dan orang-orang yang berpakaian modis
berkeliaran tak henti-hentinya. Sebuah pemandangan yang sangat kontras
dengan kehidupan yang sedang dijalaninya. Setiap hari orang-orang yang
lalu lalang menatap dengan pandangan jijik dan terkadang tersenyum
sinis.
Beberapa
lama Daeng Tima hidup sendiri. Sampai akhirnya nasib mempertemukannya
dengan seorang bayi yang kemudian diberinya nama Dogel. Anak yang masih
hijau itulah yang selama ini membantunya mencari nafkah untuk menyambung
hidup.
***
“Koran….Koran. Korannya, Pak”
Perlahan kubuka kaca mobil, “Korannya satu.”
Disodorkannya
sebuah Koran harian. “Namamu siapa? Entah, tiba-tiba, tidak seperti
biasanya ketika membeli Koran di jalan, aku bertanya seperti itu.
“Dogel,
Pak,” jawabnya dengan mimik yang begitu lugu. Sesekali ia memperbaiki
letak koran yang menggunung di dadanya. Wajahnya kusut dengan pakaian
yang sangat kumal. Beberapa noda hitam menghiasi hampir semua bagian
bajunya. Keringat yang mengucur deras dari pori-porinya, sesekali
menetes membasahi tumpukan koran yang dibawanya.
“Kamu tinggal di mana?”
“Di
bawah kolong jembatan sebelah sana, Pak. Dekat rel kereta api di
sekitar bagunan itu,” ucapnya sembari mengangkat tangan dan
mengarahkannya ke sebuah gedung yang menjulang tinggi. Sesaat
pandanganku terseret mengikuti gerakan tangannya.
“Ooo. Ini uangnya.” Kutarik uang lima puluh ribuan dari dompetku dan menyerahkannya.
“Wah, tidak ada uang kembaliannya, Pak.”
“Ambil saja semua. Mungkin ini rejekimu,” ucapku sambil menutup kembali kaca mobil.
“Terima
kasih, Pak. Semoga Tuhan membalas kebaikan bapak.” Tiba-tiba aku
terhenyak. Dia menyebut nama Tuhan, sesuatu yang selama ini sangat
jarang keluar dari mulutku. Sesaat aku memandangnya dari celah kaca
mobil yang hampir tertutup.
Itulah
saat pertama aku berjumpa dengan Dogel, seorang penjual koran, yang
entah, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dengan penjual koran lainnya.
Dari sorot matanya yang bening, seperti ada sesuatu yang sedang
berkecamuk dalam batinnya.
Entah,
kekuatan apa yang membuatku setiap pagi, saat berangkat kerja, selalu
ingin melewati jalan itu. Jalan di mana Dogel sehari-hari berlarian di
antara padatnya kendaraan, sambil menawarkan koran yang bertumpuk di
dadanya dari satu kendaraan ke kendaraan lain.
Pada
pertemuan kedua, aku menyempatkan diri menghabiskan separuh malam di
tempatnya. Sejak saat itu, aku selalu ingin mampir ke tempatnya,
mendengar keluh kesah Daeng Tima yang selama ini mengasuh Dogel. Atau
menyaksikan betapa susahnya kehidupan keduanya dan para penghuni kolong
jembatan yang nasibnya tidak jauh beda.
“Bapakmu
sekarang dimana?” tanyaku suatu ketika saat menemaninya duduk di tepi
trotoar. Ketika itu, aku baru saja pulang dari kantor dan melihatnya sedang istirahat di bawah kolong jembatan sambil menghitung hasil penjualan korannya.
“Ibu
bilang, bapak sekarang sedang berada di tempat lain. Jauuuuh sekali.
Dan mungkin akan kembali setelah aku besar,” jawabnya ringan. Meski aku
tahu ada sesuatu yang sedang menjalari batinnya.
Tapi,
ia masih saja asyik menghitung uang yang ada di genggamannya. Sesekali
tatapannya liar menghalau kendaraan yang lalu lalang di hadapan kami.
“Kamu
tidak ingin bertemu dengan bapakmu,” tanyaku kembali menghalau
kecemasan yang entah mengapa tiba-tiba saja datang merambati batinku.
“Sangat
ingin. Tapi ibu bilang, ayah akan datang kalau aku sudah besar. Dan
kini aku sudah besar. Bisa mencari uang sendiri. Aku yakin bapak
sebentar lagi akan datang.” Suaranya masih tetap tenang. Ia begitu yakin
akan ucapan ibunya.
Perjumpaan
itu sepertinya menyisakan sesuatu yang sulit terlupakan. Entah, aku
sendiri tak tahu. Dan setiap aku melewati jalan itu, di dekat traffic light,
tempat Dogel setiap hari menjajakkan koran, selalu ada rasa rindu untuk
melihat wajahnya.
Wajah yang selalu melukiskan guratan kebahagiaan.
Sementara kehidupannya, dalam kacamataku dan mungkin semua orang,
sebenarnya begitu menderita. Ada kebahagiaan tersendiri bila melihat
pemilik wajah yang seakan tak merasakan pedihnya penderitaan yang sedang
ia jalani.
Aku
teringat pada seseorang yang pernah mengatakan bahwa kebahagiaan dan
penderitaan itu, hanyalah pengejawantahan dari sebuah sikap diri
terhadap apa yang kita jalani dalam kehidupan ini.
Dogel
mungkin salah satu orang yang yang menjalani dan menghayati penderitaan
sebagai sebuah kebahagiaan. Atau hanya karena ia masih kecil, hingga
belum tahu apa itu penderitaan atau kebahagiaan. Sehingga apa yang ia
kerjakan setiap harinya, dilaluinya hamper tanpa beban.
***
Di
suatu sore, aku menemukan Dogel sedang duduk di atas pasir putih, di
sebuah pantai. Ia duduk termenung. Tumpukan Koran di dadanya masih cukup
banyak. Dengan jemarinya yang mungil, sesekali ia memperbaiki letaknya.
Lalu tatapannya kembali berkeliaran ke arah orang-orang yang berlarian
di atas pasir putih.
Saat
itu matahari mulai bersinar redup dengan warna kemerahan di ujung
cakrawala. Orang-orang yang berjalan dan berlarian di tepi pantai
menoreh bayang-bayangnya sendiri di atas pasih putih.
Cukup
lama aku mengamatinya. Dogel terlihat masih asyik memerhatikan
orang-orang yang lalu-lalang d depannya. Beberapa saat kemudian, ia
meletakkan koran yang bertumpuk di dadanya. Ia menggeser duduknya dan
mengambil sebilah kayu. Perlahan ia menorehkan ujung kayu itu di atas pasir.
“Kamu sedang menggambar apa?” tanyaku saat berada di dekatnya.
Mendengar suara yang berada di dekatnya, ia perlahan menoleh. Hanya tersenyum. Tak sedikit pun suara yang keluar dari mulutnya.
Dogel
kembali menggerakkan ujung kayu yang berada di tangannya. Perlahan aku
duduk di sampingnya dan pandanganku mengikuti gerak jemarinya yang
mungil.
“Aku
menggambar bapak,” jawabnya tanpa kutanya lagi. Kepalanya terus
bergoyang mengikuti gerak tangannya. Ia terus saja menggambar,
menggerak-gerakkan bambu di tangannya tanpa mempedulikan aku dan
orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya.
Sejenak aku terhenyak. “Tapi mengapa bertanduk dan berkaki empat?”
“Tidak tahu.” Sesekali ia menghapus lendir yang keluar dari hidungnya dengan tangannya. “Aku memang tidak pernah melihatnya.”
Lalu
ia berdiri, berlari meninggalkan gambarnya yang perlahan merintih dan
hilang terinjak kaki-kaki yang menyeret langkahnya tak peduli. Dogel
berlarian ke arah pantai meneriakkan kata-kata yang tak jelas kutangkap
dengan kedua telingaku.
Wajahnya berseri. Tangannya menggapai-gapai ke
langit sembari meneriakkan kata-kata yang masih ak sanggup kutangkap
dengan kedua telingaku.
Kulihat
bayang-bayang Dogel kian memanjang. Bayangan orang-orang yang
berseliwerang saling berkait, membentuk sekerumunan awan gelap yang
tiba-tiba saja menerjang benakku.
Seketika
anganku menggantung di langit Januari, sepuluh tahun yang lalu. Saat
itu aku meninggalkan seorang perempuan yang sedang mengandung anakku,
hasil dari sebuah persekongkolan iblis.
Akhhh….
Tubuhku
tiba-tiba bergetar. Wajahku mengeras. Aku merasa menjelma menjadi
patung yang kian hari semakin bertambah dan memenuhi hingga sudut-sudut
kota. Aku muncul dari bar-bar, pub-pub, diskotik-diskotik, hotel-hotel,
taman-taman bunga, rumah-rumah kost bahkan sampai ke desa-desa. Aku
tumbuh begitu liar memenuhi hajat kebinatangan manusia.
Dan
setiap kali Dogel menggambar bapaknya, saat itu pula lahir Dogel-Dogel
baru. Mereka terus bermunculan dari balik keliaran manusia. Mereka
adalah hasil persekutuan Adam dan Hawa dari berbagai zaman. Persemaian
tanpa aturan yang merambahi kehidupan manusia dengan segala sisa-sisa
kebinatangannya.
Makassar, 8 Oktober 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar