Ada suatu penyakit yang bukan baru lagi, sepertinya sedang menggejala di masyarakat Indonesia dewasa ini. Gejala anomie atau
gejala kebingungan yang teramat sangat terhadap norma yang selama ini
dipegang. Bagi masyarakat desa yang pergi ke kota, gejala ini begitu
kental. Terjadi semacam penularan penyakit kota terhadap masyarakat desa
yang pergi ke kota. Dan pada akhirnya simtom ini ternyata berdampak
negatif bagi tingkah laku masyarakat. Gejala ini pada tingkat yang
paling ekstrem akan mengakibatkan munculnya suatu prilaku yang
vandalistik dan sadistis.
Menurut DR. Paulus Wirutomo, munculnya gejala anomie ini diakibatkan : pertama,
masuknya budaya asing (gejala modernisasi) yang begitu gencar ke dalam
berbagai sektor kehidupan masyarakat yang tentunya akan menimbulkan
gejolak tersendiri terhadap budaya lokal. Terlebih karena ketidak-siapan
masyarakat, maka usaha untuk menyaring budaya asing tersebut mengalami
hambatan. Dalam kondisi demikian masyarakat akan mengalami kebingungan
dan ketidakpastian, sehingga mereka kehilangan pegangan.
Kedua, kehidupan sosial masyarakat mengalami dekandensi, di mana relasi kekerabatan mengalami gap
yang teramat lebar. Kehidupan masyarakat, utamanya di perkotaan,
semakin kompleks, akan mengakibatkan mobilitas masyarakat pun semakin
tinggi. Akibatnya muncul persoalan tersendiri, di mana ikatan batin,
seperti yang ada di masyarakat desa mulai memudar. Maka, sikap cuek
terhadap lingkungannya pun terjadi.
Kecenderungan ini terjadi oleh muatan-muatan modernitas yang
mendoktrinkan sikap individualistik dan materialistik yang menimbulkan
sikap rivalitas. Konsekuensi logisnya, ikatan persaudaraan dalam ruang
lingkup masyarakat yang dulunya masih kental, menjadi luntur.
Gejala anomie ini mengakibatkan orang-orang tak lagi percaya akan
jagat maknanya. Apa yang sering kali dibayangkannya (nilai-nilai kultur
yang dipegangnya) kadangkala berbeda dengan realitas yang mereka
hadapi. Sebagai akibat dari tidak adanya relasi positif antara realitas
dengan sesuatu yang dibayangkan, maka timbullah perasaan cemas, takut,
bimbang pada norma-norma yang selama ini diyakininya. Sebuah realitas
baru yang selama ini tak pernah dibayangkan sebelumnya, muncul tiba-tiba
dan menghentak kesadaran, tanpa mampu berbuat apa-apa, kecuali berdiri
meyaksikan realitas baru itu menggilas mereka begitu garangnya.
Pada akhirnya orang merasa menjadi manusia yang kosong. Sehingga
sebagai pribadi, individu akan menjadi rapuh, tak mantap, muncul
kecemasan-kecemasan dan lemah terhadap segala godaan. Realitas baru
telah merampas norma yang selama ini mereka yakini. Pelampiasannya pun
akhirnya terjadi tanpa kontrol.
Dalam psikoanalisis Sigmund Frued ada pula simtom dalam masyarakat
modern yakni munculnya suatu perasaan cemas dan takut pada realitas.
Realitas yang dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan tersebut
mengakibatkan individu melakukan sesuatu yang disebut Freud sebagai
‘penipuan diri’ dalam pengungkapannya.
Neurosis, istilah Freud dalam menyebut keadaan ini, adalah
yang mendorong seseorang menyembunyikan penipuan dirinya itu. Neurosis
tersebut melakukan penipuan diri dengan mendistorsi struktur-struktur
simbolik dalam dimensi bahasa, tindakan dan ekspresi. Represi yang
dilakukan ini pada hakikatnya mengalami kebuntuan, sebab bagaimanapun
keadaan yang ingin disampaikan tersebut terus melakukan perlawanan.
Kondisi resistensi ini terjadi akibat adanya dua kekuatan
yang saling bertentangan; yang satu berusaha mengungkapkan sesuatu,
sedang yang satunya lagi berusaha mencegah pengungkapan tersebut.
Akibatnya meski akhirnya pengungkapan itu berhasil, tetapi dalam bentuk
yang terdistorsi. Pengungkapan yang terdistorsi ini akhirnya menampakkan
dirinya dalam; pikiran obsesif, tindakan yang terus diulang, histeria
dan dalam bentuk pengungkapan simtom kejiwaan lainnya.
Fenomena ini akan melahirkan manusia-manusia berpribadi retak (split personality), yang tak mampu memahami pikirannya sendiri. Kecenderungan ini muncul karena dunia pikiran, cita-cita (high expectation) sering kali dinafikan dan tak memiliki ruang dalam dunia nyata (reality of life). Apa yang tampak dapat saja berbeda dengan apa yang mewujud (being). Manusia pun akhirnya lari dari sebuah realitas dan melakukan pelampiasannya pada dunia baru yang mungkin tanpa ia sadari.
Tak mengherankan jika realitas faktual masyarakat kita mengalami
kekhusukan lain. Meningkatnya kebutuhan akan, antidepresan, anticemas,
dan obat-obat penggugur kekecewaan, tak dapat dihindarkan. Dan gejala
ini akan semakin hebat menggerogoti manusia jika dalam dirinya mengalami
pula gejala pengalineasian moralitas ke tingkat yang paling ekstrem.
Kondisi semacam ini sangat tampak ketika kasus Sampit yang
menghacurkan sebuah tatanan masyarakat yang telah terbangun selama
sekian tahun antara penduduk asli dengan penduduk pendatang, salah
satunya Madura yang menjadi korban keganasan masyarakat Dayak.
Masyarakat dayak seperti mengalami simtom anomie dan secara individu masyarakatnya mengalami split personality.
Sedang dalam teori ekonominya, kasus tersebut bersumber dari adanya
ketimpangan ekonomi yang selama ini dirasakan oleh masyarakat asli
(Dayak) yang notabene merasa sebagai pemilik sah tanah Sampit.
Di masyarakat perkotaan gejala ini sangat jelas terlihat. Masyarakat
seperti tak mau perduli dengan lingkungan sekitarnya. Tetangga yang satu
belum tentu tahu siapa yang tinggal disebelah rumahnya. Sebab untuk
bertemu saja mungkin sangat sulit, terlebih untuk berbincang atau
berdiskusi.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Budaya Abbicara dan Ketua Komunitas Penulis Pinggiran, Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar