Cerpen Idwar Anwar
Dengan penuh
rasa dongkol yang mengganjal, televisi yang baru kubeli beberapa minggu
lalu, yang masih larut dengan siaran telenovelanya, kutinggalkan.
Beribu kuman-kuman kurasakan hinggap di kepalaku sambil tertawa
terbahak-bahak. Aku begitu muak dengan siaran televisi sore itu.
Betapa
tidak, setiap bersantai di sore hari sembari menonton televisi, aku
selalu dikerubungi anak-anak dan ibu-ibu yang selalu memaksaku larut
dalam kegemaran mereka, telenovela atau jika malam mereka selalu larut
dengan tayangan sinetron. Aku selalu digiring ke dalam dunia yang
begitu kubenci. Ya, terus terang saja aku tidak senang dengan kedua
tayangan yang bagiku memuakkan itu.
Sejak
warga desa mengetahui aku pulang dari kota membawa televisi dan antena
parabola, rumahku setiap hari, baik siang maupun malam, selalu saja
dipenuhi para tetangga yang ingin menonton telenovela atau sinetron.
Maklum di desaku, baru aku dan kepala desa yang memiliki televisi dan
antena parabola untuk menangkap siaran tv.
Dan
beberapa hari sejak saat itu pula, aku selalu dihantui kuman-kuman
telenovela itu. Hari-hari yang kulalui sejak teknologi informasi
tersebut hadir di rumahku, begitu memuakkan. Aku seperti digiring ke
dalam dunia yang benar-benar asing.
Setiap
hari aku harus dijejali film-film telenovela yang sangat menyiksa
batinku. Dan yang mengherankan, telenovela atau sinetron ini tidak
pernah habis-habisnya bahkan ada yang sampai berseri. Belum lagi
telenovela yang tidak pernah habis-habisnya didatangkan dari Amerika
Latin yang menurutku sangat jauh berbeda dengan budaya
kita. Namun, berbagai telenovela dan sinetron yang ditayangkan di
televisi itu, semakin banyak digemari warga desa termasuk istri dan
anak-anakku.
Ah,
entahlah. Yang jelas aku begitu muak dengan siaran televisi sore itu.
Aku heran mengapa warga desaku begitu doyan dengan film-film seperti
itu. Padahal bagiku siaran itu begitu memuakkan dan tak sedikit pun
memiliki muatan edukatif utamanya bagi anak-anak. Bagiku semua itu
semata-mata hanya film-film komersial.
Dan
yang membuatku juga heran, jika kupancing dengan memindahkan chanel,
mereka ramai-ramai protes. Seolah-olah aku telah merampas hak mereka.
Dan seolah-olah pula televisi yang kubeli itu milik mereka atau memang
khusus kubeli untuk mereka. Padahal aku merasa merekalah yang telah
merampas hak dan kesenanganku. Dan istriku serta anak-anak yang
kucintai pun seakan sepakat beramai-ramai ikut melakukan hal yang
sama. Aku bahkan dipaksa untuk tidak memiliki kesenangan dan pilihan
lain kecuali harus ikut dengan keinginan dan kesukaan mereka; warga
desa, istri, dan anak-anakku.
Sebenarnya, aku tidak mau ambil pusing. Sebab,
aku bisa saja menonton berita, acara kegemaranku yang disiarkan di
malam hari. Namun, aku merasakan ada yang telah rusak dari warga desa,
istri utamanya anak-anakku. Aku merasa kasihan dengan mereka. Mereka
telah digerogoti oleh khayalan khayalan yang memuakkan. Anak-anak dan
anak-anak tetanggaku pun telah larut dan terkontaminasi dengan segala
sesuatu yang sepantasnya tak perlu mereka lihat, dalam usia mereka yang
masih bau kencur.
Suatu
sore, aku memaksakan diri untuk larut dengan kegemaran mereka. Saat itu
rumah panggung yang kubangun 6 tahun lalu yang luasnya hanya 7x6 meter
dengan dinding gamaccaq dan berlantai papan dengan model arsitektur
Bugis, seperti bioskop. Penuh dan terasa begitu sumpek. Anak-anak,
sampai orang tua berjubel menanti penanyangan sebuah telenovela yang
ditayangkan di sebuah stasiun tv swasta.
Aku pura-pura larut dalam perbincangkan mereka tentang sosok tokoh dalam telenovela tersebut, baik yang dibenci maupun yang mereka
senangi. Atau melihat mereka yang tidak sempat menyaksikan
episode lalu, beramai-ramai bertanya pada orang yang menyaksikannya,
agar tidak ketinggalan dan dapat menyambung dengan cerita yang sebentar
lagi akan mereka saksikan. Saat itu aku memang ingin masuk ke dalam
dunia mereka dengan ikhlas. Dan menyaksikan dengan ikhlas pula dunia
yang selama ini begitu kubenci.
Aku ingin merasakan dan menghayati,
seperti penghayatan mereka ketika menonton telenovela atau sinetron yang
ketika chanel kupindahkan, mereka ramai-ramai protes, seakan-akan aku
telah merampas hak mereka.
Aku tidak ingin lagi dipaksa dan digiring
untuk masuk ke dalam dunia mereka. Aku ingin ikut dan larut dengan
ikhlas. Ya, penuh keikhlasan. Semoga. Kulihat istriku nampak sedikit
senang menyaksikan kehadiranku di tengah-tengah mereka. Berbaur dengan
tetangga dan bercerita tentang telenovela yang kini telah mulai
ditayangkan.
Memang
tidak seperti biasa, aku selalu menghindar dan mengeram di kamar ketika
mereka sedang asyik menonton telenovela. Tapi beberapa saat setelah
berusaha untuk ikut dan larut dengan ikhlas, aku sadar, ternyata aku
memang tidak dapat melakukannya. Aku merasa tidak sanggup memaksakan
diri untuk ikhlas. Sebab, nuraniku memang tidak menginginkannya. Hati kecilku telah menyatakan TIDAK.
Namun,
aku masih tetap berusaha, meski saat itu yang kurasakan, kepalaku mulai
pusing. Mungkin warga desa, istri, anak-anakku merasa aku telah berubah
dan tidak lagi memusuhi sesuatu yang mereka sukai. Tapi, aku tak ambil
pusing.
Aku memang harus tahu bagaimana rasanya menonton telenovela
yang telah membuat warga desa, istri dan anak-anakku seperti ketagihan.
Ya, aku memang harus merasakan-nya. Aku harus merasakan bagaimana dahsyatnya virus ini. Virus yang telah menggerogoti warga desa dan keluargaku.
Perkenalanku
dengan telenovela ini memang tidak terlalu memberikan kenangan manis.
Bahkan berakhir dengan kumatnya penyakit darah tinggi yang kuderita
setahun yang lalu.
Saat itu, aku memang hanya merasakan kepalaku begitu
pusing dan tiba-tiba rasa mual menyerangku. Virus-virus di kepalaku
terasa semakin menggerogoti. Bahkan ketika sedang berada di kamar
setelah perkenalan perdanaku dengan telenovela, aku jatuh pingsan.
Ketika
siuman, kulihat istriku masih nampak kebingungan. Tatapannya seakan
menuntutku untuk memberikan penjelasan. Namun, kepalaku masih terasa
berat dan pening.
”Bapak
kenapa?” tanyanya dengan wajah miris. Aku hanya diam. Mataku kuarahkan
ke rambutnya yang panjang terurai dengan warna hitam pekat.
“Dia
memang cantik,” gumanku dalam hati. Wanita yang begitu kucintai itu
telah memberiku empat orang penerus yang dititipkan Tuhan.
“Ah, tidak apa-apa. Aku hanya merasa pusing. Mungkin terlalu capek.”
“Aku buatkan kopi, ya?” Aku hanya mengangguk. Tubuhku masih terasa lemas.
Kurebahkan
kembali tubuhku di atas pembaringan. Aku merasa telah membuat dosa
besar dengan menjerumuskan warga desa dan istriku ke dalam dunia
telenovela, dunia yang seharusnya tak mereka saksikan jika saja aku tak
membeli televisi dan antena parabola itu.
Dan yang paling kusesali, aku
telah menjerumuskan anak-anakku dan anak-anak warga desaku, ke dalam
lembah yang paling dalam. Sebuah dunia yang kuanggap hitam bagi generasi
muda.
Perasaan
bersalah benar-benar merasuki batinku. Namun, aku mencoba untuk tidak
menampakkan keresahan itu di depan warga desa, isteri serta anak-anakku.
Aku bahkan tetap berusaha untuk selalu bersama mereka, jika sedang
menonton telenovela.
Namun
tanpa kusadari, kebiasaan ini telah menjeratku ke dalam dunia yang
begitu gelap. Hari- hariku terasa begitu menyiksa sejak berusaha ikhlas
mengikuti petualangan mereka dengan berbagai tayangan telenovela itu.
Aku
selalu dihantui rasa bersalah. Aku selalu memikirkan anak-anakku yang
semakin larut dengan adegan-adegan dalam film itu. Aku selalu memikirkan
tetangga dan anak-anaknya yang seakan tidak dapat melepaskan diri dari
jeratan film itu dan aku juga memikirkan istriku.
Perasaan
bersalah ini semakin menggerogori batinku. Perasaan berdosa terhadap
anak-anakku dan anak-anak tetangga semakin mencekik urat-urat leherku. Aku
terasa dicekik tatkala menyaksikan mereka selalu asyik dengan
godaan-godaan telenovela.
Mungkin mereka lebih mengenal Paulina, dari
pada Sultan Hasanuddin, Andi Jemma, Arung Palakka, Pangeran Diponegoro
atau beberapa Pahlawan Revolusi. Benar-benar ironis.
Suatu
waktu aku sedang menonton bersama anak-anak yang masih ingusan. Saat
itu adegan ciman sedang ditayangkan dengan jelas oleh televisi sialan
yang kubeli. Iseng-iseng kusaksikan wajah lugu anak-anakku dan anak-anak
tetangga. Mereka nampak tersipu. Tak sedikit pun memalingkan wajah,
padahal saat itu aku pura-pura mendehem.
Mereka
seperti tidak merasa malu menyaksikan adengan itu. Padahal beberapa
orang tua berada di sekitar mereka. Tiba-tiba rasanya aku ingin menampar
wajahku sendiri. Aku begitu malu melihat anak-anakku dan anak-anak
tetangga menyaksikan adegan ciuman itu sambil tersipu. Bahkan di
mataku, mereka sepertinya sedang membayangkan adegan itu, seolah-olah
mereka pernah melakukannya.
”Ah, benar-benar memuakkan! Sangat memalu-kan!” batinku.
Aku
bahkan ragu dengan generasi yang kusaksikan ini. Seketika darah yang
mengalir ke kepalaku terasa semakin deras menghantam pembuluh-pembuluh
darah di otakku. Pandanganku mulai mengabur.
Perlahan kutinggalkan mereka yang masih saja larut dengan mimpi-mimpi di depan televisi brengsek yang kubeli.
”Aku
telah merusak mereka. Aku telah merusak mereka. Aku telah merusak warga
desa, istriku dan anak-anakku,” jeritku membatin di dalam kamar.
Tiba-tiba
tubuhku menggigil. Dan sesaat kemudian, aku tak sadarkan diri. Ketika
sadar, kulihat istriku nampak masih panik. Raut wajahnya seperti orang
kebingungan. Perlahan ia duduk di sisi pembaringan. Aku mendekapnya
begitu erat.
“Maafkan
aku. Aku telah menjerumuskan kalian. Aku telah merusak kalian!” Kulihat
wajahnya semakin kebingungan. Namun, ia masih saja terdiam. Kulihat
anak-anakku satu persatu berdiri di tepi pembaringan.
”Bu, aku ingin menjual televisi dan antena parabola itu. Aku telah merusak kalian dan warga desa ini.”
Mendengar
maksudku, istri dan anak-anakku tersentak. Mereka dengan begitu sigap
dan mata yang melotot, protes. Mereka tidak setuju. Kulihat anakku yang
bungsu berlari ke luar rumah. Entah untuk apa.
Kini aku yang kebingungan. Aku tak menyangka mereka akan bersikap seperti itu.
”Tapi
aku melihat televisi dan telenovela itu telah merusak kalian dan warga
desa ini. Anak-anak kita bahkan anak-anak tetangga tidak pernah lagi
belajar, mereka semua asyik menonton. Bahkan tingkah-laku mereka kulihat
semakin menyimpang. Aku begitu takut, mereka semua rusak gara-gara
telenovela itu. Dan biangnya adalah aku.”
Aku
berusaha memberikan berbagai alasan tentang niatku itu. Namun, mereka
malah semakin marah. Tiba-tiba aku melihat istri dan anak-anakku seperti
dalam adegan telenovela; melawan, membentak-bentak dan mengata-ngatai.
Aku semakin terperanjat.
Dan
di luar rumah, suara-suara menggelegar berseliwerang menghantam
gendang telingaku. Tak kusangka, maksudku menjual televisi itu telah
tersebar di seluruh desa. Aku tak percaya. Kulihat hampir seluruh warga
desa beramai-ramai menggelar spanduk. Mereka protes terhadap maksudku
yang berniat menjual televisi yang kuanggap telah merusak generasi muda
dan warga desa serta keluargaku sendiri.
Aku
melihat mereka seperti orang-orang yang telah dirampas haknya. Dan
pelakunya adalah aku. Tiba-tiba pandanganku mengabur dan kulihat awan
hitam menyerang kesadaranku. Aku terjatuh dan tak sadarkan diri.
Di
mataku, sebuah serial telenovela yang selalu dinantikan warga desa,
istri dan anak-anakku, tertayang di televisi yang kubeli sebulan yang
lalu. Dia seakan mengejekku. Seketika itu kebencianku menggunung. Aku
ingin membunuhnya. Ya. Seketika aku ingin menjadi pembunuh.
Makassar, 1 Desember 1999
Catatan: Gamaccaq = dinding yang terbuat dari anyaman bambu atau pelepah sagu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar