Dan
semuanya menjadi aneh. Ada yang tak kumengerti saat tertimbun di
dalamnya. Bau yang menggerogoti lubang hidungku laksana kalajengking
yang menyengat tubuh. Tapi memang tak ada lebih yang istimewa, kecuali
hanya bau yang terus menerjang tanpa pernah mau memberi ampun.
Suatu
hari aku tertegun di depannya bersama 5 warga lainnya yang telah ada
sebelum aku datang. Saat itu menjelang siang. Ada yang tiba-tiba kembali
mengurai sebuah kenangan yang tersimpan di dalamnya. Sadis! Kengerian
seketika begitu garang menerjang kesadaranku. Dinding-dinding yang
ditumbuhi lumut dan langit-langitnya yang dipenuhi jaring-jaring
laba-laba yang menggelayut tak menentu, semakin mempertegas semuanya.
Ada
yang diam-diam hinggap, lalu pergi. Ada yang selalu bergegas menerobos
kesunyiannya. Di antara pepohonan dengan dedaunan yang tumbuh begitu
rimbun. Di antara kebisuan malam yang membutakan. Ada yang tak
kumengerti tentangnya. Tentang keberadaannya yang akhir-akhir ini kerap
merisaukan warga desa.
Siang
itu, kembali sepotong mayat terbujur kaku di dalamnya. Sebuah kakus
tiba-tiba kembali menjelma menjadi ribuan tanya. Selalu saja ada yang
mengerjap, lalu pergi tanpa pernah mau pamit atau memberi kabar tentang
sebuah kepergian yang abadi. Di dalamnya, ada yang tersimpan melalui
duka yang menggelayut dilingkupi ribuan putaran laba-laba yang
menggantung begitu duka.
Sebuah
ketiadaan telah memberikan keniscayaan. Pada kebisuan yang merayap lalu
terbang, ada yang tiba-tiba menyeruak kemudian lenyap. Di antara keterpakuan warga dengan tanda tanya besar yang menggelayut di kepala, ada yang diam-diam menjalari kesadaran mereka.
Þ
Beberapa
warga yang berkerumun di depan kakus satu-satunya di kampung Beru ini
saling berbisik. Sesekali mereka meludah sembari menggeleng-gelengkan
kepala lalu mengangkat bahu dengan mimik wajah kecut.
Perempuan yang
datang dan melihat mayat yang masih tak seorang pun yang berani
menyentuhnya itu, menjerit dan membuang muka. Anak-anak yang ingin pula
bergabung menyaksikan tubuh yang bersimbah darah, yang sebagian telah
mengering itu, terpaksa harus mengurungkan niat. Beberapa orang dewasa
menggiring mereka untuk menjauh dari tempat tersebut.
Aku
dan beberapa warga masih berdiri. Tak seorang pun yang memiliki
keberanian untuk memegang mayat itu, terlebih untuk mengangkatnya. Mayat tersebut
sepertinya korban pembunuhan. Di tubuhnya terdapat dua lubang yang
sepertinya bekas tusukan senjata tajam.
Wajahnya tak dapat dikenali lagi
karena darah yang menutupinya. Baju kaos putih bergambar Donal Bebek
yang dipakainya, kini berubah merah oleh darah yang keluar dari dua
lubang di tubuhnya.
Orang yang berkerumun di sekitar kakus pun semakin banyak. Suara kasak-kusuk
masih terdengar. Ada yang menyarankan mayat tersebut dibawa ke kantor
desa. Ada pula yang menginginkan dibawa ke mesjid, lalu disembahyangkan.
Ada pula yang mengusulkan untuk memanggil polisi, “Biar mereka saja
yang mengurusnya. Jadi posisi mayat tidak sampai terganggu untuk
membantu penyelidikan polisi menemukan sebab dan pelaku pembunuhan itu,” ucap seorang warga. “Ya, betul. Nanti, bisa-bisa kita yang jadi tersangka. Biasanya ‘kan seperti itu,” timpal yang lain.
Akhirnya,
hampir semua yang berdiri di tempat itu sepakat untuk memanggil polisi.
Meski demikian, tak satu pun yang meninggalkan tempat tersebut.
Semuanya seperti terpaku menyaksikan mayat itu. beberapa saat kemudian
muncul Pak Desa bersama tiga orang hansip.
Keduanya menyeruak di antara
kerumunan warga yang masih terpaku di tempatnya. Setelah menyaksikan
kondisi korban, Pak Desa memerintahkan seorang hansip untuk segera
memanggil polisi.
“Mengapa tak ada yang memanggil polisi?”
Tak
ada yang menjawab. Semuanya tiba-tiba diam. Suara-suara yang saling
berbisik, seketika tak terdengar. Mulut mereka seolah terkunci. Pak Desa
masih berdiri menanti jawaban. Tapi tak ada yang bersuara.
“Sudah.
Sudah. Semuanya menyingkir dari tempat ini, biar polisi tidak kesulitan
menemukan bukti-bukti! Ayo cepat!” Dua orang hansip, bersama Pak Desa
dan dua warga lainnya yang baru datang, berusaha menggiring warga yang
masih berdiri terpaku untuk menjauh dari lokasi mayat tersebut.
Sesaat kemudian, sebuah mobil polisi berhenti di antara kerumunan warga. Beberapa polisi turun dan langsung menuju ke tempat mayat ditemukan. Beberapa di antaranya membentangkan police line untuk
mengisolasi tempat kejadian. Di dalam kakus yang pintunya telah terbuka
lebar, sesosok tubuh terlentang dengan tubuh bersandar di dinding kakus
yang dipenuhi lumut. Kepalanya menjuntai.
Warga yang berkerumun semakin banyak. Suara-suara yang keluar dari mulut mereka masih terdengar seperti suara kawanan tawon. Beberapa
wanita yang ketakutan bergegas meninggalkan tempat dengan membawa
anak-anak mereka, agar tak melihat kejadian yang mengerikan itu.
Þ
Saat
matahari tepat berdiri di ubun-ubun, beberapa warga mulai meninggalkan
tempatnya. Lokasi mayat ditemukan perlahan sepi. Mayat yang berada di
dalam kakus telah diangkat oleh polisi dan dibawa ke rumah sakit,
setelah sebelumnya menyelidiki beberapa tempat yang
dianggap dapat memberikan petunjuk untuk menyingkap kasus pembunuhan
tersebut. Beberapa warga pun ditanyai bahkan ada beberapa di antara
mereka yang dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
Suasana
kembali hening. Aku masih berdiri di depan kakus yang telah menyimpan
tanda tanya besar di kepala. Kejadian seperti itu sebelumnya telah
terjadi tiga kali. Sesosok mayat juga pernah terbujur di dalam kakus
tersebut. Saat itu warga sangat ketakutan untuk membuang hajat di kakus
tersebut.
Mereka lebih senang membuang hajat mereka di pematang-pematang
sawah atau di kebun. Meski pada akhirnya, mereka pun harus menggunakan
kembali kakus tersebut. Namun, sampai saat ini pelakunya belum juga
ditemukan. Aku kembali pesimis, pelaku pembunuhan itu akan dapat
ditangkap.
Kakus
yang merupakan bagian dari bangunan MCK yang dibangun di tengah-tengah
desa itu, memang satu-satunya tempat yang biasa digunakan warga untuk
membuang hajat. Bangunan MCK tersebut tidaklah terlalu luas. Satu kakus
dan sebuah kolam besar, tempat orang-orang mandi dan mencuci.
Karena
peristiwa itu, MCK tersebut sangat jarang lagi dipakai warga. Namun,
setelah beberapa lama kurang terpakai, akhirnya MCK tersebut kembali
ramai. Orang-orang seperti melupakan peristiwa mengerikan yang pernah
terjadi. Warga desa pun kembali menggunakan MCK yang dibangun oleh
mereka dengan menggunakan dana bantuan pemerintah, yang kabarnya sebesar
30 juta rupiah, untuk tempat mandi, mencuci dan membuang hajat
tersebut.
Namun,
sejak ditemukannya kembali mayat yang terbujur di dalam kakus, warga
kembali resah. Mereka kembali merasa takut untuk pergi mandi, mencuci
terlebih untuk membuang hajat. Sejak kejadian itu, MCK kembali sepi, apalagi jika malam datang.
Orang
–orang hanya berani mengambil air sebanyak-banyaknya di pagi hari
sampai menjelang sore. Dan untuk buang hajat, kebiasaan warga sebelum
MCK dibuat, kembali dilakukan. Mereka lebih senang membuang hajat di
kebun atau di pematang-pematang sawah, itupun dengan perasaan was-was.
Beberapa
hari berselang, warga desa pun semakin dibuat resah dengan berhembusnya
cerita-cerita mengenai mayat yang ditemukan tersebut. Cerita itu
berkembang terus dan menjadi kepercayaan warga. Ada cerita tentang
adanya mahluk halus yang sangat jahat yang menghuni kakus.
Menurut
cerita yang berhembus, makhluk itu sengaja membawa mayat-mayat tersebut
untuk dihisap darahnya. Ada juga cerita bahwa beberapa warga pernah
mendengar suara-suara jeritan yang berasal dari kakus itu. Bahkan masih
banyak lagi cerita yang terus berkembang dan mengisi perbincangan
sehari-hari masyarakat.
Akhirnya
kakus tersebut perlahan-lahan menjelma menjadi tempat yang menakutkan.
Warga semakin enggan untuk pergi ke sana. Untuk mengambil air pun,
mereka harus bersama-sama. Paling sedikit empat orang,
baru mereka berani pergi mengambil air. Jika malam turun, suasana
semakin menakutkan. Suara-suara binatang malam dan lolongan anjing
semakin menambah keseraman. Warga yang biasanya ronda hanya empat orang,
kini bertambah menjadi delapan.
Suasana
desa, sejak ditemukannya mayat untuk keempat kalinya di kakus itu kian
mencekam. Apalagi di malam hari. Jika pagi menjelang, sebuah cerita
kembali tercipta, lalu tersebar seperti angin yang berhembus. Dan hari
itu pula, di rumah-rumah, di sawah-sawah, atau di kebun-kebun, cerita
baru itu terus dibicarakan.
“Aku
melihatnya sedang mandi di MCK. Bajunya compang-camping dengan rambut
yang acak-acakan,” kata seorang warga yang melihat mayat yang ditemukan
tempo hari itu, suatu hari ketika sedang mencangkul di sawah.
“Betul kamu melihatnya?” kata yang lain.
“Betul! Bahkan aku mendengar suara-suara aneh.”
Lalu
cerita itu pun terus berkembang. Dan esoknya di saat matahari kembali
menampakkan cahayanya, sebuah cerita pun kembali muncul. Seorang warga datang dengan cerita barunya. Katanya semalam ia mendengar suara jeritan. Dan setelah itu, terdengar suara tangisan bayi. “Lama sekali suara tangisan bayi itu terdengar,” katanya dengan mimik serius.
Lalu,
pagi itu suasana kembali gempar. Cerita itu seperti menjadi kenyataan.
Beberapa warga yang bermaksud mengambil air tanpa sengaja melihat ke
pintu kakus yang sedikit terbuka dan dua buah kaki terlihat dengan
jelas. Suara jeritan pun bersahutan. Pagi yang indah seketika berubah
menjadi kengerian. Beberapa warga kembali berkumpul. Aku pun tak mau
ketinggalan.
Setelah
menerobos di celah-celah kerumunan warga, aku berhasil mendekati kakus.
Dengan memberanikan diri, pintu kakus kubuka lebar. Suaranya menderit.
Di lantainya, seonggok janin yang masih merah, terlentang tanpa
terbungkus sehelai benang pun. Tali pusarnya belum dipotong. Tak ada
lagi tanda-tanda kehidupan yang terlihat. “Ia telah mati,” pikirku.
Tak
lama berselang, sebuah mobil polisi tiba. Beberapa polisi langsung
menuju ke arah kakus, sementara yang lainnya sibuk mengarahkan warga
untuk menjauh dari lokasi. Penyelidikan pun dilakukan. Tak ada
tanda-tanda yang dapat dijadikan alat untuk mengungkap kasus tersebut.
Beberapa warga pun dimintai keterangan, termasuk orang yang pertama kali
menyebarkan cerita tentang adanya suara bayi yang didengarnya.
Tapi
semuanya sia-sia. Sama seperti kasus-kasus sebelumnya. Telah lima kali
ditemukan mayat di dalam kakus. Dan semuanya terjadi hanya berselang
sebulan atau lebih. Lama aku tertegun di beranda rumah. “Apa yang
sebenarnya terjadi dengan desa ini?” pikiranku terus melayang. Tapi tak
ada jawaban sedikit pun.
Þ
Setelah
kejadian itu, ketakutan warga semakin memuncak. Hingga suatu hari
diadakan pertemuan di balai desa untuk membahas beberapa peristiwa yang
telah terjadi, utamanya kakus yang akhir-akhir ini menjadi tempat
beberapa mayat ditemukan. Sebagian warga menganggap tempat tersebut
sangat angker dan mendatangkan bencana, sehingga harus dibongkar.
“Tempat itu sangat tidak baik.”
“Ya,
mungkin saja itu benar. Tapi, sebelumnya saya minta maaf, sebab menurut
saya bisa saja proses pembangunan MCK itu, ada yang salah,” kata salah seorang warga menimpali.
“Maksud, Anda?” tanya Pak Lurah agak heran. Semua warga yang hadir pun melongo.
Udin yang mengeluarkan pernyataan itu, sejenak terdiam. “Ya. Sekali lagi saya mohon maaf. Menurut saya, dalam proses pembangunan MCK tersebut mungkin telah terjadi tindak korupsi.”
Hampir
semua yang hadir seketika terbelalak dengan mulut menganga. Hawa
kutukan seketika seolah menjalari tubuh mereka. Terlebih Pak Lurah,
wajahnya nampak tegang, seperti tersinggung.
“Jadi Anda menuduh yang
menangani pembanguan itu melakukan korupsi?” suaranya meninggi. “Balai
desa ini juga dibangun dengan menggunakan anggaran yang sama dan orang
yang sama. Tapi kok, mayat-mayat itu tidak berada di sini? Alasan itu
mengada-ada.”
“Sekali
lagi saya mohon maaf, jangan sampai ada yang tersinggung. Ini hanya
perkiraan saya. Wajar kan kalau saya berpikir demikian. Apa bedanya
dengan yang lain, yang berpendapat bahwa tempat MCK tersebut yang tidak
baik.”
Beberapa
saat ketegangan menyelimuti. Pak Lurah dan beberapa aparatnya
benar-benar merasa tersinggung. Namun, akhirnya suasana panas itu, reda.
Masing-masing dapat mengendalikan diri. Hampir semua warga pun sepakat
untuk membongkar MCK itu dan mencari lokasi lain.
Setelah
disepakati lokasi, pendanaan dan waktu pembongkaran serta pembangunan
MCK baru, warga desa pun pulang ke rumahnya masing-masing. Sebuah
harapan baru seakan terbentang di hadapan mereka. Wajah-wajah mereka
nampak ceria. Aku hanya terdiam.
Sesuai
waktu yang ditentukan, beberapa warga mulai membongkar bangunan MCK.
Aku dan dua warga lainnya bertugas mencari bahan bangunan yang
dibutuhkan di kota. Dengan dana swadaya warga, beberapa bahan bangunan
yang dibutuhkan itu pun diangkut ke desa. Tidak sampai sehari bangunan
itu pun rata dengan tanah. Tak satu pun bahannya yang dapat digunakan.
Kulihat
wajah-wajah mereka yang bekerja begitu ceria. Tak ada lagi ketakutan
yang tergurat. Mereka membongkar bangunan MCK begitu semangat. Setelah
semuanya selesai, wajah mereka nampak semakin berseri. Sebuah kutukan
seperti telah hilang dari lingkungan mereka.
Berkat
kerja keras warga, bangunan MCK baru pun berdiri. Semuanya nampak puas.
Tak ada lagi hawa kutukan yang mereka rasakan. Semuanya sirna bersama
runtuhnya banguanan MCK yang lama. Dan setelah diresmikan, MCK itu pun
langsung digunakan. Beberapa warga begitu cerianya mengguyurkan air di
tubuhnya, sedang lainnya sibuk mencuci.
Þ
Sebulan lebih berlalu. Tak ada
lagi cerita tentang mahluk halus yang kejam atau suara-suara mengerikan
yang terdengar di malam hari. Di sawah-sawah, di kebun-kebun dan di
rumah-rumah. Tak ada lagi. Semuanya sirna oleh keceriaan
warga dengan adanya MCK yang mereka bangun dari hasil keringat mereka.
Semuanya kembali seperti semula. Tenang. Tenteram.
Hingga….
“Ada
mayat ditemukan! Ada mayat ditemukan!” Bunyi kentongan bertalu-talu.
Malam masih menggelayut. Aku terbangun dengan tergesa-gesa. Kubuka pintu
dan melihat beberapa warga sedang berjalan tergesa-gesa menuju Balai
Desa. Aku pun bergegas bergabung bersama mereka.
“Apa yang tejadi?” tanyaku.
“Ada mayat ditemukan!”
“Di mana?”
“Di Balai Desa.”
“…???!!!”
Cerpen Idwar Anwar
Makassar, 27 April-14 Mei 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar